"Guru Lama" Harus "Mati": Mengapa Penolakan Terhadap AI Bisa Membunuh Masa Depan Siswa?


Judul di atas mungkin terdengar kejam. Namun, ini adalah pesan keras dari sebuah komentar ilmiah terbaru yang menggunakan metafora "Kematian" untuk menggambarkan nasib pendidikan kita di era Kecerdasan Buatan (AI).

Penulis berargumen bahwa "Guru Lama"—bukan mereka yang tua secara usia, tapi mereka yang bersikeras menutup mata dan menolak teknologi—harus segera "dimatikan" secara simbolis. Mengapa? Karena di dunia yang berubah super cepat ini, guru yang menolak beradaptasi sama saja dengan "merampok masa depan siswa" (meminjam istilah John Dewey).

Mari kita telusuri perjalanan emosional para guru dalam menghadapi "kematian" metode lama ini, menggunakan teori terkenal 5 Tahapan Berduka (Kubler-Ross). Di tahap manakah Anda berada?

5 Tahapan "Kematian" Guru di Era AI

Sama seperti orang yang menghadapi vonis penyakit terminal, guru yang dihadapkan pada gempuran ChatGPT dan AI lainnya seringkali melewati fase psikologis berikut:

  1. Denial (Penyangkalan): "Ah, AI itu cuma tren sesaat. Cara mengajar saya selama 30 tahun sudah terbukti ampuh, saya tidak butuh robot." Di tahap ini, guru menutup mata. Mereka menganggap AI tidak ada gunanya dan metode ceramah satu arah masih yang terbaik.

  2. Anger (Marah): "Kalian tidak mengerti! AI akan menghancurkan pendidikan! Nanti anak-anak jadi malas mikir!" Guru merasa terancam. Mereka marah karena merasa keahlian mereka akan digantikan oleh mesin.

  3. Bargaining (Tawar-Menawar): "Oke, boleh pakai AI, tapi sedikit saja ya. Jangan sampai mengubah cara saya mengajar." Mulai ada kompromi, tapi masih setengah hati. Guru mencoba mencari jalan tengah agar tidak perlu berubah total.

  4. Depression (Depresi): "Gara-gara AI, rasanya saya jadi tidak relevan lagi. Apa gunanya saya mengajar kalau Google lebih pintar?" Ini adalah titik terendah. Guru merasa kehilangan identitas dan peran profesionalnya.

  5. Acceptance (Penerimaan): "Ternyata AI bisa membantu saya membuat RPP lebih cepat dan memberi nilai lebih objektif. Mari kita coba!" Inilah tujuannya. Guru berdamai dengan teknologi dan melihatnya sebagai mitra, bukan musuh.

Mengapa Bertahan dengan "Cara Lama" Itu Berbahaya?

Data menunjukkan 66% pendidik belum menggunakan alat AI di kelas.

Apa akibatnya jika guru tetap ngeyel menjadi "Guru Lama"?

  • Ketertinggalan Umpan Balik: Tanpa AI, memeriksa ratusan tugas butuh waktu lama. Siswa keburu lupa materi sebelum tugasnya dikembalikan.

  • Pendidikan "Satu Ukuran": Tanpa bantuan analisis data AI, guru sulit mengetahui kelemahan spesifik setiap siswa. Akibatnya, semua siswa diajar dengan cara yang sama, padahal kebutuhan mereka berbeda.

  • Beban Administrasi: Guru habis waktu untuk hal teknis (bikin soal, rekap nilai), padahal AI bisa membereskannya dalam hitungan detik sehingga guru bisa fokus membimbing mental siswa.

Kelahiran Kembali Sang Phoenix

Artikel ini tidak menyuruh guru untuk "mati" secara harfiah, melainkan mengajak untuk melakukan Rebirth (Kelahiran Kembali).

Layaknya burung Phoenix yang terbakar menjadi abu lalu bangkit kembali dengan wujud baru yang lebih megah, guru masa kini harus berani membakar kebiasaan lamanya.

  • Berhenti menjadi satu-satunya sumber ilmu (karena AI lebih tahu banyak data).

  • Berhenti melakukan tugas administratif manual yang melelahkan.

  • Mulai menjadi fasilitator, mentor, dan kurator informasi.

Jadilah Seperti Bambu, Bukan Tembok

Menolak AI bukan berarti Anda idealis, itu berarti Anda kaku. Di tengah badai teknologi, jadilah seperti bambu: fleksibel, bisa meliuk mengikuti angin, tapi akarnya tetap kuat tertancap di tanah (prinsip pedagogi).

Tentu saja, kita tidak boleh menelan AI mentah-mentah (karena AI juga bisa bias atau halusinasi). Namun, kuncinya adalah Literasi AI Kritis. Pahami alatnya, gunakan manfaatnya, dan waspadai bahayanya.

Jadi, bagi para pendidik: Apakah Anda siap "mematikan" cara lama Anda hari ini demi masa depan siswa yang lebih cerah?

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama