Menyontek dan Amplop Gratifikasi: Gerbang Korupsi yang Gerogoti Moral Generasi Masa Depan

 


Data Survei Penilaian Integritas Pendidikan yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2024 menyajikan fakta pahit tentang dunia pendidikan Indonesia. Angka praktik menyontek yang masih tinggi, ditambah temuan adanya korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di sekolah, menunjukkan bahwa permasalahan terbesar bukan lagi soal uang yang hilang, melainkan terkikisnya moralitas dan karakter bangsa. Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat bertumbuh secara moral justru menjadi sarana normalisasi perilaku koruptif.

Gratifikasi kecil, seperti pemberian hadiah atau bingkisan dari orang tua kepada guru, secara tidak langsung menciptakan ketidakadilan di ruang kelas. Praktik ini menjadi contoh nyata bagi anak bahwa perilaku tidak jujur dapat dibenarkan dan dinormalisasi. Selain itu, praktik korupsi juga terwujud dalam bentuk lain, seperti korupsi waktu, di mana pengajar meninggalkan kelas dan mengorbankan kesempatan belajar yang seharusnya didapatkan oleh siswa. Perilaku-perilaku ini secara kumulatif membentuk mental koruptif yang akan dibawa hingga siswa tersebut masuk ke dunia kerja.

Masalah integritas ini diperparah oleh kebijakan pendidikan yang dinilai tidak konsisten. Di satu sisi, ada upaya mengenalkan konsep deep learning yang berfokus pada proses dan pengembangan pola pikir bertumbuh (growth mindset). Namun, di sisi lain muncul wacana mengembalikan Ujian Nasional (UN) yang berorientasi pada produk atau nilai akhir semata. Inkonsistensi ini dikhawatirkan akan kembali mendorong guru dan siswa untuk kembali fokus pada hafalan demi lulus tes, yang pada akhirnya akan terus menekan kemampuan literasi dan nalar kritis siswa yang sangat dibutuhkan oleh industri 4.0.

Stabilitas program reformasi juga menjadi sorotan. Program-program yang bertujuan menyaring dan memberdayakan pendidik berintegritas, seperti Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak, sering kali dihentikan atau diubah oleh pimpinan berikutnya tanpa kajian mendalam. Siklus ini menunjukkan adanya mentalitas legasi atau kebanggaan pribadi di kalangan pemangku kepentingan, yang lebih memilih mengganti nama program daripada memastikan keberlanjutan proses pendidikan. Hal ini menyebabkan pendidikan di Indonesia menjadi tidak berkesinambungan dan merugikan jutaan anak didik.

Untuk mengatasi kemelut ini, pendidikan harus lepas dari kepentingan politis. Langkah awal adalah melalui reformasi guru yang tidak hanya menilai IPK tinggi, tetapi juga motivasi dan integritas. Kemudian, proses belajar-mengajar harus berfokus membangun kompetensi seutuhnya, bukan sekadar menghabiskan materi atau meraih angka di rapor. Seluruh pemangku kepentingan, terutama para pendidik, memiliki peran krusial untuk berani bersuara dan menegakkan nilai-nilai moral agar lembaga pendidikan benar-benar menjadi tempat anak-anak manusia bertumbuh menjadi pribadi yang bersih dan kompetitif.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama