Belajar Mencintai Diri Sendiri: Mengapa Self-Love Saja Tidak Cukup?

https://www.pexels.com/id-id/video/pasangan-cinta-kegembiraan-anak-kecil-4628803/

Seringkali, seorang ibu atau individu merasa kehilangan jati diri meskipun berada dalam hubungan yang baik-baik saja. Praktisi mindfulness dan kesehatan mental, Adjie Santosoputro, menjelaskan bahwa perasaan ini muncul karena hilangnya koneksi dengan diri sejati, bukan karena kualitas hubungan. Intinya, seseorang perlu belajar melampaui self-love agar tidak terjebak pada keegoisan atau toxic positivity.


Membedakan Kesendirian dan Kesepian

Masalah pertama yang sering disalahartikan adalah perbedaan antara kesendirian (aloneness) dan kesepian (loneliness).

  • Kesendirian (Aloneness): Adalah hakikat dan dimensi terdalam yang dimiliki setiap manusia sejak lahir hingga meninggal. Bagian ini tidak bisa dijangkau oleh siapapun, termasuk pasangan atau anak.

  • Kesepian (Loneliness): Muncul ketika seseorang tidak berdamai atau terputus hubungannya dengan dimensi kesendiriannya sendiri. Akibatnya, meski berada di tengah keramaian atau memiliki hubungan yang harmonis, ia tetap merasa hampa dan sendiri.

Orang yang merasa kesepian berarti ia telah asing dengan dirinya sendiri, sering dihantui kesedihan tanpa alasan jelas, dan terlalu banyak menempelkan label (identity layers) pada dirinya (seperti "aku adalah ibu," "aku adalah pengusaha," atau "aku adalah orang yang gagal"). Lapisan-lapisan identitas inilah yang menjauhkan seseorang dari hakikat diri sejati (true nature), yang diibaratkan sebagai langit.


Melampaui Self-Love Agar Tidak Selfish

Konsep mencintai diri sendiri (self-love) adalah langkah yang penting tetapi belum cukup. Apabila self-love hanya berhenti pada afirmasi positif dan memanjakan diri (self-care), ada risiko seseorang jatuh menjadi egois (selfish) atau terjebak dalam toxic positivity.

Langkah self-love yang lebih mendalam adalah mempelajari apa itu diri (self) dan melampaui pikiran positif itu sendiri.

  • Mengamati Pikiran (Thinking Mind): Setiap pikiran—baik positif maupun negatif—adalah awan yang diciptakan oleh akal. Ketika perasaan bersalah (guilt) muncul, jangan dilawan atau dihilangkan, karena apa yang dilawan akan menguat. Sebaliknya, amati dan sadari bahwa perasaan itu "hanyalah sebuah pikiran" (just a thought).

  • Menjadi Langit Kesadaran (Awareness Mind): Seseorang perlu melatih diri untuk menjadi langit yang hanya mengobservasi (menjadi saksi yang berbelas kasih) awan-awan pikiran dan perasaan tanpa menghakimi. Ini adalah cara untuk berjarak dengan emosi negatif, sehingga perasaan bersalah akan surut dengan sendirinya, bukan karena dipaksa hilang.

  • Memberi dari Isi, Bukan dari Kehampaan: Seorang ibu yang merasa lelah perlu menciptakan jeda (creating pause moment) atau rehat sejenak. Jika teko sudah kosong, tidak mungkin ia bisa menuangkan air ke cangkir lain. Dengan rehat (walaupun hanya one breath), seseorang mengisi ulang energi cinta dan akan mampu memberi cinta kepada pasangan dan anak, bukan menuntut cinta dari mereka yang juga sedang "haus."

Relasi adalah Cermin untuk Menyembuhkan Luka Lama

Relasi, baik dengan pasangan maupun anak, berfungsi sebagai cermin untuk melihat kondisi batin diri sendiri. Luka batin masa kecil (luka inner child) yang tidak disembuhkan akan membentuk pola relasi di masa dewasa. Seseorang yang tumbuh dalam lingkungan mencekam, tanpa sadar akan mencari pasangan atau menciptakan situasi yang mencekam pula karena ia menganggap situasi mencekam itulah rumah.

Untuk menyembuhkan diri (healing) dari trauma, hanya mengandalkan waktu saja tidak cukup. Dibutuhkan upaya sadar untuk:

  1. Mengurai Trauma: Berani bercerita untuk mengurutkan masalah (dibutuhkan deep listening).

  2. Menyembuhkan Diri Sendiri: Seseorang harus menyembuhkan dirinya terlebih dahulu. Relasi yang sehat hanya dapat terwujud jika ia berhenti mencerminkan luka batinnya kepada pasangan atau anak.

Saran praktis untuk kembali utuh adalah meluangkan waktu, meskipun sebentar, untuk mindful breathing—yaitu mengamati napas tanpa harus menghitung, bahkan di tengah kebisingan—dan mengingat bahwa diri sejati (true nature) itu sempurna apa adanya (perfect as you are).

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama