Pubertas Anak dan Fatherless Crisis: Ayah Harus Berani "Pulang" untuk Menyelamatkan Generasi

https://www.pexels.com/id-id/video/seorang-ayah-yang-merawat-anaknya-sebelum-ke-sekolah-3192261/

Fase pubertas anak, yang kini terjadi pada usia semakin dini (sekitar 9-10 tahun), merupakan tonggak baligh yang menuntut kesiapan orang tua, terutama Ayah. Menurut psikolog Elly Risman, Baligh berarti anak telah mencapai kedewasaan secara hukum agama dan moral. Oleh karena itu, persiapan pubertas tidak boleh dibiarkan "mengalir begitu saja" karena konsekuensinya berkaitan langsung dengan akidah, ibadah, dan akhlak anak.

Ayah Adalah Penanggung Jawab Utama

Seringkali, karena alasan malu atau tabu, pembahasan pubertas (terutama pada anak perempuan) disubkontrakkan kepada Ibu. Padahal, secara prinsip pengasuhan, Ayah adalah penanggung jawab utama pengasuhan anak—baik laki-laki maupun perempuan.

  • Pondasi Agama: Anak yang sudah baligh terikat hukum syariat, termasuk kewajiban menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Ayah harus menjadi pembuka percakapan karena Ayah bertanggung jawab atas penanaman akidah, ibadah, dan akhlak.

  • Fatherless Crisis: Indonesia menghadapi krisis fatherless (minimnya peran ayah) di mana Ayah hadir secara fisik namun jarang menyapa atau membangun kebersamaan emosional. Ini membuat anak-anak, terutama perempuan, lapar kasih sayang laki-laki, yang berisiko membuat mereka mencari perhatian dari sumber yang salah (termasuk di dunia maya).

  • Membangun Karakter Laki-Laki: Tugas Ayah bukan hanya menjadi pencari nafkah, tetapi memfungsikan anak laki-laki untuk menjadi suami dan ayah yang benar di masa depan. Budaya harus diubah: mengasuh anak perempuan sejatinya lebih mudah daripada mengasuh anak laki-laki yang akan menjadi pemimpin rumah tangga.

Kunci Komunikasi: Kenali, Terima, dan Hargai Perasaan

Mempersiapkan anak di fase pubertas tidak bisa dilakukan jika pondasi komunikasi orang tua dan anak berjarak. Elly Risman menekankan bahwa hal paling penting bagi manusia adalah perasaan. Jika perasaan anak ditolak, ia merasa seluruh dirinya ditolak.

Untuk memutus budaya "menidakkan perasaan," orang tua harus menggunakan rumus 3D:

  1. Dikenali (Acknowledge): Jangan langsung bertanya "Kenapa?" saat anak marah. Tebak dan namai perasaannya lebih dulu, seperti: "Kesal, ya?" atau "Capek banget, ya?"

  2. Diterima (Accept): Perasaan apa pun—marah, sedih, cemas—adalah hak anak. Terima emosi itu sebagai fakta, bukan sebagai kesalahan.

  3. Dihargai (Value): Hargai perasaannya agar ia merasa utuh.

Langkah Praktis Komunikasi: Ketika anak pulang sekolah dengan emosi tinggi, orang tua harus membaca bahasa tubuh, menebak perasaannya, dan menamainya. Hindari bertanya "Kenapa?" karena itu memaksa otak anak untuk berpikir logis (pusat berpikir) saat pusat emosinya sedang kacau. Jika anak tidak mau bicara, atur waktu dan anggap ia sebagai orang dewasa.

Perangi Pornografi dengan Sikap dan Ilmu

Mengenai paparan gawai, keputusan memberikan handphone harus didasari ilmu, sikap, dan perbuatan. Gawai sebaiknya diberikan setelah usia 7-8 tahun atau ketika sekolah telah membutuhkan. Orang tua harus konsisten dan jangan sampai sikapnya diatur oleh lingkungan sosial.

Pornografi (ketelanjangan) harus dibahas dengan anak menggunakan bahasa yang praktis dan religius. Orang tua harus menjelaskan bahwa menahan pandangan adalah perintah agama. Ayah dan Ibu harus siap mendampingi anak karena gawai di tangan anak tanpa persiapan sama saja dengan memfasilitasi hal yang dilarang agama.

Sebagai penutup, pesan yang paling penting adalah "Pulanglah ke rumah sayang, duduklah di kursi kerajaanmu sebagai Ayah," karena Ayah adalah figur pertama yang akan menentukan bagaimana anak laki-laki dan perempuan membentuk karakternya di masa depan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama