Sejak kemunculan ChatGPT dan kawan-kawannya, dunia pendidikan gempar. Dosen khawatir mahasiswa jadi malas berpikir, sementara mahasiswa bingung bagaimana cara pakai AI tanpa dituduh curang.
Namun, sebuah studi terbaru (2025) yang melibatkan mahasiswa pascasarjana memberikan angin segar. Ternyata, ketika diminta menggunakan AI untuk tugas berat seperti "Critical Reading & Writing" (membaca dan menulis kritis), mahasiswa tidak sekadar menelan mentah-mentah jawaban robot. Mereka justru menjadi editor yang pemilih.
Studi ini mengintip layar laptop 22 mahasiswa saat mereka merevisi laporan bacaan kritis menggunakan bantuan AI. Apa yang ditemukan para peneliti cukup mengejutkan. Inilah bocorannya!
AI Sebagai "Sparring Partner", Bukan Joki
Alih-alih menyuruh AI mengerjakan semuanya ("Tolong buatkan tugas ini sampai selesai"), para mahasiswa menggunakan AI sebagai teman diskusi untuk merevisi tulisan mereka sendiri.
Studi menggunakan kerangka kerja yang membagi "berpikir kritis" menjadi 10 dimensi. Hasilnya? Mahasiswa tidak peduli pada semua dimensi itu. Mereka melakukan "Selective Engagement" alias pilih-pilih tebu. Ada bagian yang mereka diskusikan habis-habisan dengan AI, ada juga yang mereka abaikan.
4 Hal yang Paling Sering "Diulik" Mahasiswa Bersama AI
Dari 10 aspek analisis, mahasiswa menghabiskan energi paling banyak untuk merevisi 4 hal ini bersama AI:
Metodologi & Tujuan Riset (Research Aims): Mahasiswa sering bertanya ke AI, "Sebenarnya penelitian ini tujuannya apa sih? Metodenya valid nggak?" Mereka menggunakan AI untuk membedah kerangka penelitian orang lain, seringkali karena mereka sendiri sedang bingung menyusun tesis mereka.
Kontribusi Riset (Contributions): "Apa gunanya penelitian ini buat dunia?" Mahasiswa, terutama yang calon guru, sangat kritis di sini. Mereka mencari tahu apakah jurnal yang mereka baca punya manfaat praktis untuk karir mereka nanti, bukan sekadar teori langit.
Kualitas Bukti (Quality of Evidence): Ini menarik. Banyak mahasiswa ternyata sering salah paham tentang apa itu "bukti yang kuat". Mereka menggunakan AI seperti guru privat untuk bertanya, "Eh, data di jurnal ini valid nggak sih? Buktinya kuat atau lemah?"
Teori yang Rumit (Theoretical Frameworks): Jurnal akademik seringkali menggunakan bahasa dewa. Mahasiswa menggunakan AI untuk "menerjemahkan" teori-teori sulit tersebut agar masuk akal di otak mereka.
Kenapa Ada Bagian yang Diabaikan?
Studi ini juga menemukan bahwa mahasiswa cenderung cuek pada analisis AI soal Moral & Nilai atau Koneksi dengan Pengalaman Pribadi.
Alasannya sederhana: Ego Manusia. Mahasiswa merasa, "Untuk urusan perasaan dan pengalaman pribadi, saya lebih tahu daripada robot." Selain itu, jika dosen pembimbing tidak menuntut bagian itu di dalam tugas, mahasiswa cenderung mengabaikan saran AI. Sangat pragmatis, bukan?
Rahasia Dibalik "Pilih-Pilih" Ini
Kenapa mahasiswa hanya fokus pada 4 hal di atas? Peneliti menemukan 4 faktor pendorong utamanya:
Tuntutan Dosen/Supervisor: "Dosenku galak soal metodologi, jadi aku harus pastikan bagian itu sempurna pakai AI."
Rencana Karir: "Aku mau jadi guru, jadi aku cuma peduli bagian jurnal yang bisa dipraktikkan di kelas."
Kebingungan Mendasar: "Aku nggak ngerti bab ini, tolong jelaskan, AI!"
Tujuan Pribadi: "Aku butuh inspirasi buat tesisku sendiri."
Kesimpulannya?
Studi ini membuktikan bahwa kehadiran Generative AI tidak mematikan nalar kritis, asalkan digunakan dengan benar.
Mahasiswa tetap memegang kendali (human agency). Mereka tahu kapan harus bertanya pada AI (saat bingung teori atau metode), dan kapan harus mengabaikan AI (saat bicara soal nilai moral dan pengalaman).
Jadi, bagi para pendidik: Jangan takut. AI tidak menggantikan otak mahasiswa, tapi justru bisa menjadi alat bantu yang kuat untuk melatih mereka berpikir lebih tajam—selama kita memberi tugas yang tepat!
Posting Komentar