Peningkatan kualitas guru di Indonesia menghadapi tantangan fundamental yang berakar pada proses rekrutmen, pelatihan, hingga praktik di ruang kelas. Selama bertahun-tahun, program pelatihan sering kali dianggap tidak berdampak signifikan dan hanya berfokus pada target administrasi atau "aktivitas" semata, bukan pada perbaikan nyata di kelas. Kegagalan ini menunjukkan bahwa sistem perlu menggeser fokus dari kuantitas proyek menjadi kualitas dan relevansi materi pelatihan.
Salah satu perdebatan yang muncul adalah wacana mengembalikan penjurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang kaku. Para praktisi pendidikan menganggap pengembalian sistem ini berpotensi merugikan, sebab sistem peminatan yang fleksibel sebelumnya telah membantu siswa memilih mata pelajaran sesuai profil kepribadian dan minat karier mereka. Kekhawatiran sebagian pendidik terhadap hilangnya jam mengajar akibat mata pelajaran yang tidak diminati siswa menunjukkan bahwa fokus masih pada pemenuhan administrasi (jam mengajar untuk tunjangan), bukan pada daya tarik materi atau kualitas pengajaran itu sendiri.
Inti dari reformasi pendidikan terletak pada pemahaman guru terhadap peserta didik. Seorang praktisi menyebutkan bahwa guru yang baik tidak sekadar menyampaikan materi, tetapi juga mampu mengidentifikasi dan membaca data tentang siswanya. Tanpa pemahaman mendalam mengenai profil anak (seperti perbedaan antara siswa introvert dan ekstrovert, atau tipe intuitif dan sensing), guru cenderung melakukan asumsi berbahaya dan menerapkan pendekatan "satu ukuran untuk semua" (one size fits all). Akibatnya, banyak potensi anak, terutama yang pasif di kelas, tidak mendapatkan kesempatan berkembang secara optimal.
Untuk memecahkan masalah ini, para ahli menekankan perlunya Reformasi Guru secara menyeluruh. Proses rekrutmen tidak boleh hanya didasarkan pada Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi, tetapi harus melibatkan wawancara motivasi dan psikotes, seperti yang dilakukan di beberapa negara maju, untuk memastikan calon guru memiliki panggilan jiwa, bukan sekadar menjadikan profesi ini sebagai pelabuhan terakhir pencarian kerja.
Selain itu, evaluasi kinerja guru dan sekolah harus diubah. Penilaian seharusnya didasarkan pada progres atau seberapa besar peningkatan yang dicapai siswa, bukan sekadar nilai akhir yang tinggi. Dengan mengukur perkembangan, daerah yang awalnya memiliki capaian rendah akan mendapatkan apresiasi jika menunjukkan kemajuan yang signifikan. Melalui pemetaan data guru yang sistematis dan keberanian menghadapi fakta di lapangan, setiap pihak dapat menyusun rencana strategis yang tepat. Dengan demikian, pendidikan akan benar-benar menjadi tempat mengembangkan manusia untuk kehidupan, bukan hanya ajang kompetisi.
Posting Komentar