Emosi Jijik Memengaruhi Keputusan Politik dan Kehidupan Sehari-hari: Waspadai Dorongan Instingtif yang Tidak Rasional

 


Emosi jijik adalah reaksi naluriah dan mendalam yang memiliki peran signifikan dalam pengambilan keputusan, seringkali mengesampingkan logika rasional. Emosi ini muncul sebagai respons fisiologis dasar yang bertujuan menolak kontak dengan objek, entitas, atau praktik yang dianggap tidak murni atau berpotensi menjadi kontaminan. Insting ini berevolusi dari kebutuhan bertahan hidup, membantu manusia purba menghindari penyakit atau makanan beracun.

Meskipun jijik bersifat universal, apa yang memicunya sebagian besar dipelajari secara kultural, umumnya mulai muncul di sekitar usia dua atau tiga tahun. Seiring waktu, rasa jijik meluas melampaui tubuh—dari makanan busuk atau kebersihan—hingga memengaruhi tatanan sosial dan spiritual. Dalam sejarah politik, jijik terbukti adaptif dan mampu memicu perubahan: novel The Jungle karya Upton Sinclair di Amerika Serikat, yang menggambarkan kondisi menjijikkan industri pengemasan daging, memicu kemarahan publik yang menuntut perlindungan dan akhirnya menghasilkan undang-undang keamanan pangan modern.

Berdasarkan penelitian mengenai sensitivitas jijik individu (seperti reaksi terhadap susu basi atau belatung), terungkap bahwa orang yang memiliki tingkat sensitivitas jijik tinggi cenderung lebih mendukung kebijakan publik yang mereka anggap "melindungi," baik untuk tubuh, jiwa, maupun masyarakat. Menariknya, rasa jijik ini juga dapat menciptakan koneksi dengan menyatukan individu, termasuk lawan politik, dalam mendukung kebijakan perlindungan bersama, seperti peningkatan anggaran keamanan pangan atau penutupan perbatasan selama wabah penyakit, yang menunjukkan adanya titik temu lintas partai.

Namun, terdapat sisi negatif: rasa jijik juga didorong oleh imajinasi, bukan hanya kontaminan yang nyata. Contohnya, fenomena conditioned taste aversion membuat seseorang menghindari makanan yang pernah membuatnya sakit, bahkan di lokasi lain, padahal makanan itu mungkin baik-baik saja. Lebih jauh, rasa jijik yang irasional dapat menghambat kemajuan global. Dalam konteks kelangkaan protein dan kebutuhan akan sumber makanan yang lebih berkelanjutan, keengganan untuk mengonsumsi serangga—yang merupakan sumber makanan bagi miliaran orang di dunia—adalah contoh bagaimana emosi ini dapat menahan manusia dari upaya yang lebih bermanfaat bagi planet.

Pada akhirnya, emosi jijik adalah reaksi otomatis, tetapi respons dan tindakan yang menyertainya sepenuhnya berada di bawah kendali manusia. Setiap orang perlu menyadari kapan emosi ini muncul dan membuat keputusan sadar apakah akan membiarkannya mengambil alih kemudi atau mendorongnya ke kursi belakang, memungkinkan pertimbangan lain yang lebih logis dan berpandangan jauh untuk memimpin.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama