Jembatan Antar Generasi: Pelajaran dari Desa Maasai untuk Keluarga Modern



 Kita kini berdiri di jembatan antara cara hidup keluarga tradisional dan modern, di mana teknologi semakin berperan dalam mengurus rumah tangga. Ndinini Kimesera Sikar, seorang wanita yang dibesarkan di desa Maasai di Tanzania, memohon agar kita melangkah dengan hati-hati dan niat yang kuat, sebab meninggalkan tradisi demi cara baru bisa sangat berisiko.


Kekuatan Komunitas dalam Tradisi Maasai

Sikar dibesarkan dalam keluarga besar Maasai yang terdiri dari 38 orang. Kehidupan sehari-hari dipenuhi dengan tugas kolektif yang menghabiskan waktu berjam-jam: memerah susu sambil bernyanyi agar sapi rileks, mencari kayu bakar, dan mengambil air sejauh 10 kilometer. Semua tugas ini dilakukan bersama-sama oleh para gadis yang dipimpin oleh ibu mereka, yang mengajarkan cara menghindari bahaya. Di malam hari, seluruh keluarga makan bersama, mendengarkan cerita para tetua, dan bernyanyi. Tidur dilakukan beramai-ramai, berdesakan demi kehangatan, menciptakan rasa dimiliki dan dibutuhkan (belonging).

Meskipun sistem Maasai memiliki sisi negatif seperti pemotongan genital dan pernikahan paksa, Sikar mengakui bahwa ia dirawat, dibutuhkan, dan selalu memiliki tempat dalam komunitas tersebut. Nilai keluarga tradisional lebih menekankan pada berbagi sumber daya dan pengambilan keputusan kolektif, berbeda dengan keluarga modern yang mengedepankan otonomi pribadi.


Menghadapi Perubahan dan Perlawanan

Pada usia 7 tahun, Sikar dipilih secara acak oleh pemerintah untuk bersekolah. Keputusan ini membuat desa cemas, karena anak-anak yang bersekolah mulai berbicara dalam bahasa yang berbeda—secara harfiah dan kiasan. Tujuh tahun kemudian, ketika ia terpilih untuk sekolah menengah di kota, orang tuanya menangis semalaman, khawatir tidak dapat bertahan hidup tanpanya. Ia akhirnya meninggalkan desa dengan restu ayahnya, kemudian menolak tiga perjodohan yang diatur keluarganya, yang menimbulkan air mata dan rasa malu, meskipun ia juga mendapat dorongan diam-diam.

Kini, Sikar hidup di kota bersama suami pilihannya dan tiga anak, menikmati kehidupan modern dengan rumah, mobil, dan laptop. Namun, ia menyadari tantangan untuk memadukan otonomi pribadi modern dengan nilai-nilai kolektif dari masa kecilnya.


Membangun Jembatan dengan Niat

25 tahun yang lalu, Sikar mendirikan Maasai Women Development Organization (MWDO) untuk memberi perempuan akses ke pendidikan dan kesehatan, sebagai upaya menggabungkan yang lama dengan yang baru. Ia menceritakan kontras pengalaman melahirkan: anak pertama didampingi 15 orang, penuh dengan pengetahuan tradisional, sementara anak kedua di rumah sakit kota dibatasi hanya dua pendamping. MWDO kini menyediakan pusat bersalin yang bersih dan memperhatikan budaya, melatih bidan, dan bahkan melibatkan suami, memadukan praktik terbaik dari kedua dunia.

Dalam keluarga modernnya, Sikar memilih untuk mempertahankan pendidikan, tidak ada pemotongan genital, tidak ada pernikahan paksa, lebih banyak bermain, tetapi juga harus ada kontribusi lebih, lebih banyak bercerita, dan lebih banyak mendengarkan. Semua ini dilakukan dalam lingkungan multi-generasi yang menjaga kehormatan para tetua.

Sikar menegaskan bahwa ia dan semua orang tua adalah jembatan menuju generasi berikutnya. Sesuatu yang kita lakukan di masa kecil akan terdengar asing bagi generasi selanjutnya, sama seperti nyanyian gadis Maasai kepada sapi terdengar asing hari ini. Oleh karena itu, ia mengajak kita untuk berhenti sejenak dan membuat daftar hal-hal penting yang harus dilestarikan di dunia baru, memastikan bahwa sebagai spesies, kita masih dapat "bernyanyi"—melakukan hal-hal yang otentik dan bermakna.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama