Duncan Keegan, seorang pembicara yang berlatar belakang Irlandia, menyajikan refleksi mendalam tentang hubungan antara seni, pengetahuan, dan pengalaman manusia yang paling pribadi, yaitu keluarga dan kehilangan. Ia mengawali dengan mengutip penyair Amerika Robert Frost, yang membedakan pengetahuan para sarjana—yang diperoleh melalui garis logika—dengan pengetahuan penyair—yang didapat secara santai (cavalierly) dan membiarkan hal-hal melekat secara tak terduga. Keegan menjelaskan, dalam bahasa Irlandia kuno, kata dán dapat berarti puisi, hadiah, takdir, atau kepekaan terhadap keheningan, menunjukkan bahwa dahulu seni dan ilmu pengetahuan adalah satu kesatuan.
Keegan kemudian membahas janji Kecerdasan Buatan (AI) yang akan menjadi pendamping anak yang sempurna—yang tidak pernah sakit, tidak pernah menelantarkan, dan tidak pernah mati. Ia melihat janji ini sebagai kekeliruan mendasar. AI yang menawarkan konseling dan perawatan bagi anak adalah saingan bagi kasih sayang orang tua, saingan yang secara logistik tidak mungkin ditandingi oleh manusia. Menurut Keegan, ketakutan terhadap AI terletak pada kesalahpahaman bahwa kecerdasan buatan dapat mencapai kesadaran buatan. Asumsi ini keliru, sebab kesadaran, cinta, dan duka bukanlah sekadar produk materi atau susunan atom. AI akan berguna sebagai alat, namun lebih sebagai pengalih perhatian (devices of distraction) bagi hati manusia dalam kesepian dan kehilangan, seperti papan permainan Jumanji atau Wilson dari film Castaway.
Untuk menjelaskan apa arti manusia sebenarnya, Keegan membagikan kisah paling pribadi. Ketika putranya, Rory, meninggal dunia di usia lima tahun pada Februari 2023, putrinya yang berusia 11 tahun, Neve, awalnya tidak sanggup masuk ke ruangan tempat jenazah adiknya disemayamkan. Istri Keegan, Sarah, mendekati putrinya, dan melalui kehadiran serta sentuhan yang menenangkan, Neve akhirnya mampu melangkah. Di depan peti adiknya, Neve tidak mengucapkan janji atau kata-kata logis, melainkan seolah-olah membaca kisah singkat adiknya—kehidupan Rory—sebagai sebuah "puisi" atau "takdir".
Keegan menyimpulkan bahwa ketika logika dan kata-kata gagal menghadapi duka yang tak terhindarkan, manusia akan kembali mencari koneksi. Harapannya, setiap orang memiliki koneksi layaknya seorang sahabat atau seorang ibu, karena di saat itulah kita tahu apa artinya uluran tangan, dan kita mengerti makna sesungguhnya dari keberadaan kita.
Posting Komentar