Media Sosial: Pendorong Perubahan atau Penghambat Aksi Politik Sejati?


Media sosial seringkali disalahpahami sebagai pengganti komunitas dan mesin utama perubahan politik, padahal platform ini memiliki struktur yang secara inheren tidak mendukung kerja keras dalam membangun masyarakat. Ahli kritik teknologi dan peneliti Katherine Cross menegaskan bahwa media sosial, meskipun memiliki potensi untuk menghubungkan orang, pada dasarnya bukanlah komunitas yang sesungguhnya. Ia memperingatkan, jika keterlibatan hanya terjadi di sana, platform tersebut dapat 'memangsa' dan mengisolasi seseorang.

Politik didefinisikan sebagai perdebatan kolektif mengenai kekuasaan dan sumber daya dalam masyarakat. Hal ini membutuhkan negosiasi, jaringan, dan kerja sosial yang nyata—mulai dari memutuskan pembangunan taman hingga masalah besar negara. Cross menggunakan istilah provokatif 'anti-politik' untuk menggambarkan media sosial karena platform tersebut cenderung melemahkan dan menyebarkan kebersamaan politik (polity). Platform tersebut menciptakan ilusi bahwa pengguna terlibat dalam aksi kolektif, padahal yang terjadi adalah tindakan individualistik yang terpisah, memperkuat perasaan 'monad' (individu yang terisolasi) yang bertindak seolah-olah mereka adalah bagian dari massa. Akibatnya, media sosial menjadi 'lapangan publik' di mana orang dapat didengar, tetapi tidak ada perubahan nyata yang terjadi.

Struktur dan desain platform berperan besar dalam mendorong perilaku negatif. Perangkat lunak yang dirancang, seperti fitur like atau retweet, cenderung mendorong pengguna untuk memiliki pendapat yang kuat dan detasemen ironis. Kesuksesan kecil atau pencapaian yang bersifat 'tenang' dalam politik tidak menarik perhatian, sedangkan pernyataan yang memicu kemarahan (rage clicks) dan narasi kemarahan justru mendapat banyak perhatian. Hal ini memperkuat sinisme dan menjauhkan orang dari pekerjaan politik sehari-hari yang membutuhkan ketulusan dan ketekunan.

Selain itu, media sosial menjadi tempat yang ideal untuk kampanye pelecehan (harassment campaign). Cross mengidentifikasi pelecehan tingkat ketiga (third-order harassment) sebagai elemen yang paling merusak, yaitu diskusi yang terjadi tentang target pelecehan (bukan kepada target). Diskusi ini, bahkan jika dilakukan dengan maksud membela atau bersifat netral, menyediakan substrat moral—semacam izin—yang membenarkan dan memperkuat serangan langsung. Ironisnya, platform memungkinkan hal ini terjadi tetapi tidak menyediakan alat yang efektif untuk membangun sesuatu yang konstruktif, seperti pusat komunitas fisik.

Meskipun demikian, tidak mungkin melarang media sosial. Oleh karena itu, penting bagi pengguna untuk bersikap bijaksana. Solusi yang ditawarkan adalah: gunakan media sosial sebagai direktori atau buku telepon untuk menemukan orang yang sepemikiran, tetapi segera alihkan percakapan dan kegiatan politik yang sesungguhnya ke ruang-ruang komunitas yang lebih tertutup dan aman, seperti Discord atau Signal. Dengan memiliki tujuan yang jelas—bukan sekadar 'meningkatkan kesadaran'—dan melakukan pekerjaan keras di dunia nyata, individu dapat memastikan bahwa upaya mereka menghasilkan dampak yang benar-benar berarti, alih-alih hanya menjadi 'postingan' yang cepat berlalu.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama