Perkembangan teknologi baru, mulai dari robot otonom hingga Kecerdasan Buatan (AI) dan sistem pemilu digital, menghadirkan potensi perubahan besar dalam kehidupan sehari-hari dan sistem politik. Namun, inovasi ini sering kali harus berhadapan dengan hambatan politik dan regulasi yang rumit. Seorang roboticist dan seorang ahli strategi politik berdiskusi mengenai bagaimana tantangan regulasi dan mentalitas publik dapat membentuk masa depan teknologi.
Inovasi Fisik dan Adaptasi Masyarakat
Robot otonom yang digunakan untuk pengiriman barang, meskipun memicu perdebatan daring mengenai hilangnya lapangan kerja, ternyata mendapat respons positif dari masyarakat secara langsung. Warga, terutama anak-anak, dengan cepat beradaptasi dan menganggap keberadaan robot sebagai hal yang biasa. Adaptasi yang cepat ini menjadi indikasi bahwa ketakutan terhadap teknologi baru sering kali lebih bersifat psikologis atau terdistribusi secara online, bukan terjadi di lapangan. Di sisi logistik, kolaborasi antara robot darat (untuk jarak dekat di area padat) dan drone (untuk jarak jauh di area kurang padat) dipandang sebagai solusi efisien untuk "membongkar" sistem mobil yang selama ini mendominasi dan membuat kota-kota menjadi lebih baik.
Tantangan Politik Melawan Partisipasi Publik
Tantangan terbesar bagi para inovator adalah sistem politik. Regulasi pada dasarnya selalu tertinggal di belakang inovasi, dan sering kali digunakan oleh pemain lama di pasar untuk menahan persaingan—sebuah masalah yang dikenal sebagai penyanderaan regulasi (regulatory capture).
Hal yang lebih besar adalah resistensi politik terhadap peningkatan partisipasi warga. Proyek pengembangan teknologi pemilu seluler (mobile voting) yang bertujuan untuk menggandakan hingga melipatgandakan jumlah pemilih menghadapi penolakan dari mereka yang sudah berkuasa. Kelompok ini tidak ingin mempermudah orang lain untuk mendapatkan kekuatan, karena peningkatan jumlah pemilih (memberdayakan 80% pemilih moderat) akan menggeser pusat politik. Solusinya, menurut para ahli, adalah membangun teknologi yang sangat aman dan transparan (open source), sehingga alasan penolakan hanya tersisa pada argumen teknis yang sulit dipertahankan secara publik. Peningkatan jumlah pemilih diyakini akan menyelaraskan output kebijakan dengan kebutuhan pasar dan akal sehat, bukan pada kepentingan kelompok ekstrem yang terpolarisasi.
Teknologi sebagai Sumber Optimisme
Terlepas dari tantangan politik, teknologi, khususnya AI, adalah "penemuan" yang akan membawa peningkatan eksponensial dalam kualitas hidup. Di sektor pendidikan, AI dapat menyediakan tutor pribadi gratis yang disesuaikan dengan gaya belajar unik setiap siswa, jauh lebih efektif daripada metode pengajaran konvensional. Di kesehatan, AI dapat memindai jutaan kombinasi obat yang sudah ada untuk menemukan solusi bagi penyakit langka yang belum terobati. Selain itu, AI juga dapat digunakan untuk mengatasi krisis iklim melalui penemuan teknologi penangkapan karbon.
Kritik terhadap Media Sosial
Kontras dengan optimisme pada teknologi masa depan, media sosial saat ini disorot sebagai "mesin ketidakbahagiaan". Platform ini beroperasi berdasarkan bias negatif alami manusia, yang membuat pengguna lebih mungkin mengklik berita negatif atau toksik. Model bisnis yang didasarkan pada klik memberi insentif kepada platform untuk secara sengaja mendorong konten terburuk. Ditambah dengan kurangnya regulasi yang memadai (seperti hukum yang melindungi platform dari tanggung jawab konten), media sosial menyajikan ilusi kehidupan sempurna orang lain dan menumpuk semua berita buruk dunia secara bersamaan, menciptakan sentimen negatif terhadap kemanusiaan. Dalam pandangan para ahli, ini adalah contoh di mana regulasi pemerintah yang bekerja demi kepentingan rakyat diperlukan agar teknologi dapat bekerja untuk kebaikan kolektif.
Posting Komentar