Budaya kerja keras (hustle culture) telah membelenggu banyak profesional, tak terkecuali para eksekutif, yang berujung pada kondisi kelelahan parah atau burnout. Menurut Tarveen Forrester, seorang VP bidang sumber daya manusia, penelitian menunjukkan setidaknya satu dari empat karyawan secara global pernah mengalami burnout. Meskipun demikian, ia meyakini bahwa solusi untuk masalah ini bukanlah dengan meredupkan ambisi, melainkan dengan memeliharanya melalui perangkat yang tepat. Ambisi adalah hadiah istimewa, api di dalam diri yang mendorong potensi maksimal. Dengan alat yang benar—yaitu batasan (boundaries)—kita dapat menciptakan apa yang disebut Ambisi Berkelanjutan (Sustainable Ambition).
|
Batasan seringkali disalahartikan sebagai alasan untuk bekerja lebih sedikit atau membatasi impian. Padahal, batasanlah yang memberdayakan kita untuk bekerja lebih baik dan mencapai lebih banyak. Kunci utama untuk menetapkan batasan adalah menerima kenyataan pahit: kita tidak bisa melakukan semuanya dan menghindari burnout. Dalam menghadapi tekanan tinggi, tenggat waktu, ditambah krisis tak terduga dalam kehidupan pribadi, memaksakan diri hingga batas yang tidak realistis adalah siklus yang beracun, dan di sinilah burnout bermula. Untuk mendukung ambisi dan batasan, Forrester menyarankan tiga langkah sistematis.
|
Langkah pertama adalah memiliki Non-Negosiable yang Jelas. Ini adalah tugas atau kebiasaan esensial yang tidak boleh ditiadakan, terutama saat tekanan memuncak. Contohnya bisa berupa meditasi 10 menit sehari, memastikan waktu untuk kegiatan anak, atau memprioritaskan olahraga. Ketika kesulitan hidup muncul, kita perlu bertanya: "Apa pengorbanannya?" Pengorbanan (trade-off) ini mungkin berupa penjadwalan ulang aktivitas sosial atau membatalkan kegiatan yang kurang mendesak. Langkah kedua adalah Menyadari Time Bank atau Bank Waktu kita. Sama seperti berhati-hati dalam melakukan pembelian besar, kita harus selektif dengan komitmen waktu. Tanyakan pada diri sendiri, "Apakah diri saya di masa depan akan marah pada diri saya saat ini jika saya mengatakan 'ya' untuk komitmen ini?" Dengan bersikap selektif, kita belajar melindungi dan menghargai waktu.
|
Langkah terakhir, sekaligus yang paling penting, adalah Mengomunikasikan Batasan dengan Jelas. Mengatakan "tidak" memang tidak nyaman dan dapat menimbulkan rasa bersalah. Namun, penting untuk diingat bahwa pekerjaan, kehidupan, dan hubungan kita tidak akan pernah secara otomatis menetapkan batasan untuk kita; kita yang harus menciptakannya. Komunikasi dapat dilakukan dengan bahasa yang tidak mengancam, seperti, "Saya senang membantu, tetapi hari ini saya hanya punya waktu 30 menit," atau kepada atasan, "Proyek ini menarik, tetapi kapasitas saya sudah penuh. Saya perlu menggeser prioritas tenggat waktu saya." Pada akhirnya, hustle culture kini mulai digantikan oleh generasi yang memprioritaskan keseimbangan. Solusi terbaik adalah menemukan titik tengah: bekerja keras ketika memang diperlukan untuk mencapai tujuan, tetapi juga memprioritaskan istirahat, pengisian ulang energi, dan koneksi dengan orang lain. Dengan batasan, kita memberikan diri sendiri izin untuk bermimpi besar tanpa harus membakar diri hingga habis.
Posting Komentar