Robot Pengasuh Bayi: Ancaman atau Harapan bagi Sifat Dasar Manusia?


 

Seorang antropolog evolusioner, Sarah Blaffer Hrdy, mengajukan pertanyaan mendasar tentang masa depan kemanusiaan di era Kecerdasan Buatan (AI): Apakah kita masih akan menjadi manusia jika robot membantu membesarkan bayi kita? Pertanyaan ini muncul dari pemahaman mendalam tentang bagaimana sifat dasar manusia telah berkembang selama jutaan tahun.


Evolusi Perawatan Bersama dan Kemanusiaan

Sifat bayi manusia telah berevolusi menjadi mahal dan lambat matang selama sekitar enam juta tahun sejak kita berbagi nenek moyang dengan kera. Bayi pada masa itu, layaknya bayi simpanse, memerlukan kontak kulit-ke-kulit yang konstan dan disusui selama bertahun-tahun. Namun, nenek moyang kita yang berjalan dengan dua kaki dan hanya memiliki perkakas batu menghadapi tantangan besar untuk bertahan hidup dan menghindari kepunahan.

Para ibu membutuhkan bantuan untuk membesarkan anak-anak yang tak berdaya dan lambat matang tersebut. Tanpa adanya bantuan pengasuhan dari anggota kelompok lain selain ibu—yang disebut allomothers (pengasuh non-ibu)—mustahil manusia dapat berevolusi. Melalui perawatan bersama (shared care) inilah, sirkuit saraf yang krusial untuk pemahaman timbal balik dan kerja sama berkembang seiring dengan peningkatan ukuran otak.


Resiko Keterikatan pada Robot

Di dunia modern yang bergerak cepat, banyak ibu masih harus bekerja untuk menopang keluarga, tetapi kini mereka kekurangan komunitas yang saling mendukung atau kerabat dekat. Hal ini mendorong banyak orang tua menggunakan perangkat teknologi untuk memantau dan menghibur bayi mereka. Dalam waktu dekat, robot dapat diprogram untuk menyediakan berbagai layanan, mulai dari memberi makan, membersihkan, menjaga kehangatan, bahkan hingga mengedukasi anak.

Namun, Hrdy memperingatkan bahwa hal ini berpotensi membahayakan sifat dasar manusia. Bayi manusia secara aktif bertindak untuk bertahan hidup dan fleksibel dalam memutuskan kepada siapa mereka akan terikat dan anggap sebagai keluarga. Jika robot diprogram untuk merespons kebutuhan bayi secara lebih cepat dan lebih andal daripada orang tua yang sibuk, bayi mungkin akan terikat pada robot tersebut.


Kebutuhan untuk Memahami Pikiran Lain

Bayi manusia berbeda dari kera lain dalam ranah sosial. Sejak usia enam bulan, mereka secara spontan mulai berbagi makanan dan sangat peduli siapa yang memperhatikan mereka dan apa yang orang lain pikirkan tentang mereka, termasuk reputasi mereka. Bahkan, ilmuwan saraf menemukan aktivitas di korteks prefrontal medial bayi saat mereka memproses tatapan dan tindakan orang lain, suatu mekanisme yang berevolusi untuk memicu perhatian dan kelangsungan hidup. Sirkuit otak ini mempersiapkan nenek moyang kita untuk tumbuh menjadi dewasa yang mampu berkomunikasi dan bekerja sama dalam cara-cara baru, seperti membangun tempat berlindung atau, di masa depan, mengirim robot ke Mars.

Keberlanjutan spesies Homo sapiens sapiens di masa depan, meskipun mereka mahir teknologi, akan sangat bergantung pada apakah mereka masih akan menjadi 'manusia' dalam arti tertarik pada pikiran dan emosi orang lain. Kemampuan untuk mencapai pemahaman timbal balik, atau esensi kemanusiaan itu sendiri, sepenuhnya bergantung pada bagaimana, oleh siapa, atau oleh apa mereka dibesarkan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama