Seni Bertanya di Ruang Kelas: Apakah Pertanyaan Anda Sudah Cukup "Cerdas"?


Pernahkah Anda bertanya di depan kelas, lalu hanya disambut oleh keheningan atau jawaban singkat "ya" dan "tidak"? Seringkali, kita menganggap bertanya adalah aktivitas sederhana—sekadar melempar kalimat tanya dan menunggu jawaban. Namun, sebuah studi mendalam yang melibatkan 56 pendidik guru (teacher educators) menyingkap fakta bahwa "bertanya" adalah sebuah seni bertingkat yang kompleks. Ternyata, tidak semua pertanyaan diciptakan setara. Ada hierarki kecanggihan dalam cara seorang guru mengajukan pertanyaan, mulai dari sekadar mengecek hafalan hingga memicu kesadaran berpikir yang mendalam.

Di tingkat paling dasar, studi ini menemukan apa yang disebut dimensi Monologis. Ini adalah gaya bertanya satu arah yang paling umum kita temui. Guru bertanya seperti seorang dokter yang sedang mendiagnosis pasien: "Siapa presiden pertama Indonesia?" atau "Apa rumus luas segitiga?". Tujuannya hanya satu: mencari jawaban benar yang sudah ada di kepala guru. Meskipun penting untuk mengecek pemahaman dasar, gaya ini seringkali membatasi ruang gerak siswa. Siswa hanya menjadi "penyetor jawaban", bukan pemikir. Jika guru berhenti di tahap ini, kelas akan terasa kaku dan kreativitas siswa sulit berkembang karena mereka takut salah.

Naik satu tingkat, kita menemukan dimensi Deklaratif. Di sini, pertanyaan guru mulai berfungsi sebagai "jembatan emosional". Guru tidak langsung menembak dengan soal ujian, melainkan menggunakan pertanyaan untuk memancing rasa ingin tahu dan mempersiapkan mental siswa. Contohnya, "Pernahkah kalian merasa bingung saat melihat pelangi?" atau "Bagaimana perasaanmu jika kamu ada di posisi pahlawan tersebut?". Pertanyaan semacam ini bertujuan menghangatkan suasana (pre-organizer), membuat siswa merasa aman untuk berbicara, dan membangun koneksi antara materi pelajaran dengan pengalaman hidup mereka sehari-hari.

Namun, keajaiban sesungguhnya terjadi di tingkat ketiga, yaitu dimensi Dialogis. Di tahap ini, kelas berubah menjadi ruang diskusi yang hidup. Guru tidak lagi mencari satu jawaban benar, melainkan mencari keragaman pendapat. Mereka mengajukan pertanyaan terbuka seperti "Mengapa kamu berpikir demikian?" atau "Adakah yang punya pendapat berbeda dengan Budi?". Guru mendengarkan jawaban siswa, lalu menggunakannya untuk menyusun pertanyaan berikutnya (contingency). Di sini, terjadi negosiasi makna. Siswa diajak untuk beradu argumen secara sehat, saling melengkapi ide teman, dan membangun pemahaman bersama. Guru bukan lagi satu-satunya sumber kebenaran, melainkan fasilitator yang merajut percakapan.

Puncaknya adalah tingkat tertinggi yang disebut dimensi Metakognitif. Ini adalah level "Dewa" dalam seni bertanya. Pada tahap ini, guru tidak hanya sibuk bertanya pada siswa, tetapi juga sibuk bertanya pada dirinya sendiri (meta-noticing). Seorang guru di level ini akan merenung: "Apakah pertanyaan saya tadi terlalu sulit?", "Apakah saya memberi waktu tunggu yang cukup sebelum menunjuk siswa?", atau "Mengapa saya bertanya itu?". Mereka memiliki kesadaran tinggi tentang strategi mereka sendiri dan pengetahuan mendalam tentang bagaimana pertanyaan tertentu bisa memengaruhi cara berpikir siswa. Guru di level ini adalah praktisi yang reflektif; mereka sadar bahwa kualitas jawaban siswa sangat bergantung pada kualitas pertanyaan gurunya.

Kesimpulannya, studi ini mengajak para pendidik untuk tidak terjebak di zona nyaman pertanyaan "kuis" (Level 1). Mengajar yang efektif membutuhkan keluwesan untuk bergerak naik turun di tangga hierarki ini. Ada kalanya kita butuh pertanyaan tegas untuk memastikan fakta (Monologis), ada kalanya kita butuh pertanyaan pemantik semangat (Deklaratif), dan seringkali kita butuh pertanyaan yang memicu debat (Dialogis). Namun, di atas segalanya, guru yang hebat adalah mereka yang terus-menerus melakukan refleksi diri (Metakognitif), memastikan bahwa setiap tanda tanya yang mereka lempar ke udara benar-benar bertujuan untuk menyalakan api nalar di kepala siswa.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama