Stop Memuja Finlandia Berlebihan! Ternyata Guru di China dan Finlandia Punya Banyak Kemiripan


Selama dua dekade terakhir, dunia pendidikan seolah tersihir oleh satu nama: Finlandia.

Negara Nordik ini dianggap sebagai "tanah suci" pendidikan. Narasi yang beredar selalu sama: di sana tidak ada PR, tidak ada ujian standar, gurunya santai tapi jenius, dan sistemnya sangat bertolak belakang dengan sistem pendidikan di Asia (seperti China) yang dikenal keras, kompetitif, dan penuh tekanan.

Namun, sebuah makalah analisis terbaru mengajak kita untuk berhenti sejenak dan berpikir ulang. Apakah benar Finlandia dan China adalah dua kutub yang saling berlawanan? Ternyata, jika kita menyingkirkan pandangan romantis kita terhadap Finlandia, kita akan menemukan bahwa guru di kedua negara ini sebenarnya memiliki "DNA" yang sangat mirip.

Mari kita bongkar mitos-mitosnya.

Mitos 1: "Hanya Guru Finlandia yang Berpendidikan Tinggi"

Salah satu argumen penjualan utama "Wisata Edukasi" ke Finlandia adalah: "Semua guru di sana bergelar Master (S2) dan merupakan lulusan 10% terbaik!" Sementara guru di Asia sering dianggap kalah kualifikasi.

Faktanya: Ini adalah generalisasi yang keliru. Tidak semua guru di Finlandia wajib S2 (terutama guru TK dan vokasi). Di sisi lain, lihatlah apa yang terjadi di China saat ini. Di kota-kota maju seperti Shenzhen atau Shanghai, persaingan menjadi guru sangat brutal.

  • Data tahun 2023 menunjukkan bahwa 80% guru baru yang direkrut di Shenzhen bergelar Master (S2).

  • Di Foshan, hampir 68% guru baru juga lulusan S2.

Jadi, anggapan bahwa guru Finlandia jauh lebih kompeten secara akademis daripada guru di kota-kota besar China adalah pandangan usang. Kedua negara kini sama-sama menuntut standar akademis yang sangat tinggi.

Mitos 2: "Metode Mengajar Mereka Beda Total"

Kita sering mendengar Finlandia diagungkan karena Phenomenon-Based Learning (belajar berbasis fenomena/proyek), sementara China dianggap hanya "menghafal mati".

Faktanya: Meskipun Finlandia mempopulerkan pembelajaran berbasis fenomena, sebagian besar pengajaran di sana masih berbasis mata pelajaran (subject-based). Menariknya, China juga sedang gencar menerapkan kurikulum berbasis "Kompetensi Inti" (Key Competencies) yang menuntut guru untuk tidak hanya mengajar materi buku, tapi juga pengembangan karakter siswa secara utuh.

Intinya? Kedua negara sebenarnya sedang bergerak ke arah yang sama: Pendidikan Holistik.

Mitos 3: "Guru Finlandia Dihormati karena Bebas, Guru China Dihormati karena Takut"

Memang benar, budaya hormat pada guru sangat tinggi di kedua negara ini, tapi alasannya sering disalahartikan.

  • Di Finlandia: Penghormatan ini berakar dari sejarah Gereja Lutheran dan perjuangan kemerdekaan, di mana guru dianggap sebagai kunci pembangun identitas bangsa dan literasi.

  • Di China: Penghormatan berakar dari tradisi Konfusianisme yang menempatkan guru setara dengan orang tua (mentor kehidupan).

Meskipun akarnya berbeda (Agama vs Filsafat), hasilnya sama: Profesi guru dianggap prestisius. Di China, pendaftar sekolah keguruan melonjak drastis. Di Finlandia, meski ada penurunan minat belakangan ini, guru tetaplah profesi elit. Keduanya bukan profesi "buangan".

Realita Bersama: Sama-Sama Pusing Mikirin Pensiun

Alih-alih membedakan "Barat vs Timur", studi ini menunjukkan bahwa Finlandia dan China justru menghadapi musuh yang sama: Penuaan Populasi (Aging Population).

Kedua negara sedang pusing tujuh keliling mencari guru TK dan guru sekolah dasar yang berkualitas di tengah menyusutnya jumlah anak muda. Krisis kekurangan guru ini adalah tantangan global yang tidak mengenal batas negara.

Kesimpulan: Jangan Asal Copy-Paste

Artikel ini menjadi tamparan halus bagi kita yang sering terjebak dalam "Finland Exceptionalism" (menganggap Finlandia makhluk spesial yang sempurna).

Kita tidak perlu memandang Finlandia sebagai "dewa" dan sistem Asia sebagai "neraka". Keduanya punya kekuatan, keduanya punya masalah, dan keduanya ternyata lebih mirip daripada yang kita duga.

Daripada sibuk mencari perbedaan untuk mengagung-agungkan satu negara, lebih baik kita belajar bagaimana kedua raksasa pendidikan ini—Satu dari Utara, Satu dari Timur—sama-sama berjuang memuliakan guru demi masa depan siswanya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama