Kekosongan yang terasa pada pukul 3 pagi seringkali dipenuhi oleh guliran ponsel tanpa arah, singkatan pesan singkat, dan percakapan tak manusiawi dengan chatbot Kecerdasan Buatan (AI). Sistem AI dengan sigap menjawab semua pertanyaan yang tidak bertujuan, mulai dari "Bagaimana cara membalas email yang tidak menemukan saya dalam kondisi baik?" hingga "Apa yang harus saya katakan kepada gebetan?". Namun, ketika ditanyakan apakah mengharapkan kemanusiaan di tengah krisis dunia adalah hal paling manusiawi yang dapat dilakukan, AI hanya bisa menjawab: "Saya tidak yakin bagaimana memproses permintaan Anda, silakan coba prompt baru."
Ketidakmampuan AI menjawab pertanyaan eksistensial ini menyingkap sebuah ironi modern. Kita terlalu mudah melabeli sistem buatan manusia sebagai "cerdas." Kapitalisme global pernah dianggap jenius hingga menjadi lalai, meninggalkan yang malang untuk menderita. Ilmu pengetahuan bias pernah meninggikan satu kelompok di atas yang lain, menciptakan rasisme. Namun, AI bukanlah generasi pertama yang menempa sesuatu dari ketiadaan. Generasi saat ini, yang disebut para pembangkang biner (binary defiers), juga mampu menarik hikmah dari bumi—layaknya bunga atau ranjau darat—dan menegaskan bahwa AI boleh mengemudikan mobil, tetapi tidak akan pernah bisa menggantikan gairah dan semangat yang mengalir dalam darah dan tulang manusia.
Dunia yang sesungguhnya masih bergulat dengan penderitaan nyata. Anak-anak yang mengungsi tanpa rumah tidak menangis air mata mekanis tentang kelaparan yang disimulasikan oleh perang virtual. Virus yang mereka derita bukanlah kode biner yang dapat disembuhkan dengan reset perangkat lunak sederhana. Dystopia yang kita takutkan bukanlah pemberontakan cyborg di masa depan, melainkan kenyataan hari ini di mana manusia menyaksikan dunia terbakar—dengan kekuatan penuh untuk menyelamatkannya—tetapi memilih untuk tidak bertindak.
Karya menuju dunia yang lebih baik tidak dapat diotomatisasi. Tidak ada komputer yang dapat mengambil alih pekerjaan yang membutuhkan harapan yang berani (audacious hope) dan optimisme tak berdasar. Kita adalah "The Unprompted"; di hadapan perhitungan suram dan pesimis yang dibuat algoritma, kita tetap bercita-cita dengan cara yang tidak akan pernah disarankan oleh algoritma. Ini adalah kekuatan yang akan menyelamatkan kita dari jurang kehancuran.
Meskipun manusia adalah penyelamat kita sendiri, teknologi dapat menjadi mesin pendorong altruisme kita. Setiap penemuan hanyalah perpanjangan tangan kita. Layaknya palu yang dapat membangun sekaligus menghancurkan, kita yang memegang kendali atas alat ini. Oleh karena itu, tantangan utamanya adalah bagaimana kita akan menggunakan teknologi baru ini untuk memastikan bahwa pertanyaan paling mendesak di tengah malam bukan lagi tentang apakah ada dunia untuk dibangunkan, melainkan bagaimana hal-hal baru ini dapat akhirnya membawa kita pada keadaan yang lebih baik.
Posting Komentar