Paradoks terbesar dalam politik Indonesia adalah dilema antara meritokrasi (sistem berdasarkan kemampuan dan prestasi) yang diidamkan dengan mediokrasi (kekuasaan yang diisi orang biasa-biasa saja atau berdasarkan koneksi) yang kini nyata terjadi. Menurut Rocky Gerung dan Tom Lembong, situasi ini memicu perceraian antara kebijakan elite dan aspirasi rakyat (people's value), menciptakan ketegangan yang berpotensi melahirkan chaos.
Keroposnya Fondasi Demokrasi dan Argumentative Society
Meritokrasi hanya dapat tumbuh subur melalui filter demokrasi yang kuat. Namun, fondasi demokrasi Indonesia, yang awalnya dibangun di atas budaya argumentatif para pendiri bangsa, kini telah hilang.
Penyebab Defisit Argumen: Sistem politik yang hierarkis, feodal, dan otoriter telah masuk menjadi subkultur bahkan di lembaga pendidikan dan universitas. Di banyak kampus, kebebasan mimbar akademik untuk menentang atau memuji sebuah tesis (argumentative culture) telah dibunuh.
Meritokrasi yang Salah Arah: Rekrutmen elite politik saat ini mendahulukan elektabilitas daripada etikabilitas (integritas) dan intelektualitas (kemampuan berpikir abstrak/teoritis). Akibatnya, meritokrasi didasarkan pada KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), bukan keunggulan individu.
Ancaman Local Management sebagai Akar Korupsi
Tom Lembong mencontohkan Tiongkok yang berhasil mendesentralisasikan aktivitas ekonominya (Jack Ma, Alibaba, dan DJI lahir dari kota-kota sekunder) meskipun politiknya sentralistis. Sebaliknya, Indonesia sebagai negara demokrasi, justru memiliki aktivitas ekonomi yang sangat sentralistis.
Paradoks Keuangan Daerah: Pemerintah pusat gagal mendesentralisasi keuangan daerah yang memadai. Pajak dari perusahaan besar di daerah justru masuk ke pusat tanpa dikembalikan secara optimal. Hal ini memicu keresahan dan potensi gejala federalisme (keinginan daerah untuk otonomi penuh) karena local management tidak difasilitasi dengan uang yang memadai.
Energi Politik Pindah ke Informal: Ketika sistem formal gagal menyalurkan aspirasi rakyat, energi politik akan pindah ke sistem informal, seperti podcaster, influencer, dan komunitas online (seperti Discord server di kasus Nepal). Hal ini membuktikan bahwa kebenaran dan trust publik dapat mengalahkan senjata, partai, dan uang.
Menghadapi End Game: Otoritas vs. Akuntabilitas
Kegagalan menghadirkan meritokrasi dan akuntabilitas publik akan selalu disubstitusi oleh otoritas dan represif. Namun, otoritarianisme dinilai sebagai napas terakhir dari sebuah era yang sedang sekarat karena sistem politik yang sehat tidak membutuhkan represi.
Otoritas akan selalu gagal karena secara matematis, jumlah personalia aparat (TNI/Polri) sangat kecil (sekitar 2%) dibandingkan populasi warga dewasa yang terancam. Oleh karena itu, ilusi memaksakan kehendak dengan kekerasan akan selalu berakhir dengan kegagalan.
Kompensasi Guru: Salah satu langkah struktural terpenting adalah investasi besar-besaran pada kualitas guru dengan kompensasi yang layak. Guru yang kompeten akan menjadi community multiplier yang dapat menanamkan ambisi dan imajinasi, sehingga mengurangi kegelisahan sosial dan meningkatkan kapasitas manusia.
Hukum Alam: Pada akhirnya, Tuhan itu Maha Adil (God is always fair). Keadilan akan selalu terwujud karena hukum alam akan mencari ekuilibriumnya. Ketidakadilan adalah ketidakseimbangan, dan meskipun membutuhkan waktu dan kesabaran, kebenaran akan selalu terungkap dan keadilan akan terwujud.
Posting Komentar