Augmentasi Diri dengan AI: Menjadi Manusia yang Lebih Baik di Era Kecerdasan Buatan


Kecerdasan Buatan (AI) diprediksi bukan hanya akan merevolusi dunia kerja, tetapi juga cara manusia belajar dan membuat keputusan, berpotensi membantu kita menjadi versi diri yang lebih baik. Diskusi antara Psikolog Sosial, Heidi Reeder, dan Pemimpin Bisnis, Barry O'Sullivan, menyoroti bahwa di era AI yang serbacepat, kunci kesuksesan bukan lagi sekadar tahu banyak, melainkan memiliki pola pikir bertumbuh (growth mindset) dan menjadi pembelajar seumur hidup yang rakus. Sebab, hal yang dipelajari dua tahun lalu mungkin sudah tidak relevan lagi hari ini, dan manusia harus siap terus-menerus belajar hal baru setiap beberapa tahun.

Di lingkungan kerja, AI bertindak sebagai "pelatih" yang tak kenal lelah. Contohnya dalam layanan pelanggan, AI mampu menganalisis dan menilai setiap interaksi karyawan, alih-alih hanya menilai satu dari sepuluh panggilan seperti yang dilakukan manajer manusia. Keunggulan AI terletak pada kemampuannya memberikan umpan balik yang kaya dan objektif—tidak dipengaruhi suasana hati manajer—serta memberikannya tepat pada waktunya (in the moment) untuk mengubah perilaku secara efektif.. Selain itu, AI dapat menciptakan lingkungan simulasi yang aman, memungkinkan karyawan berlatih perilaku yang sulit atau menghadapi percakapan menantang (seperti memberi kabar buruk) tanpa rasa takut dihakimi, sebuah hal yang sulit dicapai dalam interaksi antarmanusia.

Bagi para profesional muda, menggunakan AI secara bijaksana adalah tantangan yang membutuhkan disiplin. Mereka harus menghindari godaan untuk menggunakan AI sebagai jalan pintas yang memungkinkan mereka "menyelesaikan pekerjaan tanpa belajar". Sebaliknya, AI harus digunakan sebagai mitra yang meningkatkan kecerdasan.Caranya adalah:

  • Memulai pekerjaan sendiri, kemudian meminta AI membantu menyempurnakan dan menyaring ide.

  • Menggunakan AI sebagai mitra dalam pengambilan keputusan, memintanya untuk mengidentifikasi asumsi-asumsi tersembunyi yang mungkin tidak disadari.

Adapun kekhawatiran tentang akurasi AI, para ahli menekankan bahwa hasil yang salah (hallucinations) seringkali disebabkan oleh pertanyaan yang ambigu (prompt engineering yang buruk). Oleh karena itu, kemampuan untuk mengajukan pertanyaan yang tepat kepada AI adalah keterampilan dasar baru yang harus dimiliki di masa depan.

Di luar pekerjaan, AI juga menjanjikan peran sebagai alat yang membantu kita mengatasi keterbatasan manusia. Contohnya, membantu menjaga niat baik (seperti mengurangi penggunaan ponsel di malam hari saat kemauan sudah habis). AI juga berpotensi mengubah pengalaman seni. Meskipun konten yang sepenuhnya dipersonalisasi—seperti film atau musik yang dibuat hanya untuk satu individu—dikhawatirkan dapat menciptakan "lubang kelinci" isolasi, kebutuhan manusia akan koneksi dan identitas kelompok akan memastikan konten yang dibagikan bersama tetap relevan. Meskipun AI akan terus mengaugmentasi kreativitas, peran manusia di balik seni akan tetap penting karena makna seringkali muncul dari pengalaman yang dibagikan antarsesama.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama