Brain Rot dan Neuroplastisitas: Mengapa Konten Sampah Medsos Mengerogoti Kecerdasan Anda

https://www.pexels.com/id-id/video/orang-menggulir-melalui-instagram-853988/

Perdebatan tentang relevansi sekolah di era digital semakin memanas. Namun, ilmu saraf (neuroscience) menunjukkan adanya ancaman baru yang jauh lebih mendasar daripada akses informasi, yaitu fenomena "Brain Rot"—kemerosotan fungsi otak akibat kebiasaan mengonsumsi konten media sosial yang tidak bermakna.


Otak Beradaptasi: Anda Dilatih oleh Konten Harian

Konsep kunci dalam ilmu saraf adalah Neuroplastisitas, yaitu kemampuan otak untuk beradaptasi dan berubah bentuk berdasarkan stimulus dan lingkungan yang ia terima. Otak manusia terus berkembang hingga meninggal, dan pembentukannya sangat dipengaruhi oleh tiga faktor: nutrisi, lingkungan, dan pendidikan.

Fenomena Brain Rot muncul ketika otak setiap hari dibanjiri konten-konten media sosial yang receh dan tidak berfaedah. Jika otak terus-menerus disuguhi input yang tidak bernilai, maka ia akan menjadi tumpul.

  • Pembeda Kecerdasan: Kecerdasan seseorang kini tidak hanya diukur dari IQ, tetapi dari kualitas informasi yang diterima. Seseorang yang menghabiskan waktu scrolling tanpa insight tidak akan dianggap sama cerdasnya dengan mereka yang secara konsisten menyerap informasi bermanfaat.

  • Waktu Atensi yang Menyusut: Di era media sosial, rentang atensi (attention span) manusia semakin pendek. Konten-konten dibuat semakin singkat (3 detik pertama sangat krusial). Hal ini menjadi tantangan bagi para edukator untuk menyampaikan informasi bermakna dalam durasi yang sangat singkat.


Pendidikan Formal dan Kerusakan Breaking System

Sekolah dan perguruan tinggi seharusnya menjadi tempat untuk membentuk karakter dan melatih keberanian beropini atau berdialektika. Sayangnya, sistem pendidikan yang terlampau bergantung pada KPI (Key Performance Indicator) dan nilai di atas kertas justru menumbuhkan rasa takut pada mahasiswa untuk salah berpendapat.

Penelitian neuroscience menunjukkan:

  • Kecanduan Konten Negatif: Remaja yang kecanduan konten pornografi, misalnya, menunjukkan kerusakan pada sistem rem (breaking system) di otak depan (prefrontal cortex). Bagian otak ini bertanggung jawab atas kemampuan berpikir kritis, logis, dan mengendalikan perilaku. Akibatnya, mereka tahu perbuatannya salah, tetapi tidak bisa berhenti.

  • Hilangnya Soft Skill: Kampus tidak lagi mengajarkan soft skill krusial seperti komunikasi nonverbal—intonasi, ekspresi, dan gestur tubuh—yang sesungguhnya memiliki kekuatan jauh lebih besar daripada bahasa verbal dalam kehidupan sehari-hari.


Kunci Melawan Brain Rot: Fokus pada Diri Sendiri

Lawan terberat dalam hidup adalah diri sendiri. Jika seseorang sudah merasa "Brain Rot" atau kehilangan arah, solusinya bukan mencari motivasi eksternal, melainkan fokus pada diri sendiri.

  1. Tetapkan Tujuan (Himmah): Jika seseorang punya tujuan (himmah), ia akan secara otomatis mencari informasi yang berfaedah dan algoritmanya akan menyesuaikan.

  2. Jadikan Diri sebagai Tujuan: Cerdaskan diri, sehatkan diri, dan perbaiki ibadah. Ini adalah langkah paling mendasar sebelum memikirkan kontribusi besar bagi dunia.

  3. Lingkungan yang Membentuk: Otak sangat dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan. Keinginan untuk berubah akan sulit terwujud jika dikelilingi oleh lingkungan yang membiarkan kebiasaan buruk.

Perubahan karakter seseorang (termasuk peningkatan IQ dan perilaku) bukanlah sekadar perubahan mindset abstrak, melainkan perubahan pada struktur dan fungsi otak yang dipengaruhi oleh seberapa keras dan konsisten ia berani beradaptasi dan memilih lingkungan yang lebih baik.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama