Narcissistic Personality Disorder (NPD) atau gangguan kepribadian narsistik—kondisi psikologis di mana seseorang memiliki keakuan tinggi, haus pengakuan, dan minim empati—sering dikaitkan sebagai penyebab utama toxic relationship dalam pernikahan. Meskipun NPD adalah ranah diagnosis profesional, para ahli psikologi dan spiritual sepakat bahwa akar permasalahan ini sangat kompleks, dengan benang merah yang konsisten menunjuk pada trauma pengasuhan di masa kecil.
NPD dan Defisit Cinta Tanpa Syarat
Gangguan NPD ditandai dengan ego yang sangat kuat dan nir-empati (tidak memiliki kepekaan rasa terhadap orang lain). NPD terbagi dua: yang terbuka (grandiose) seperti arogan, dan yang tersembunyi (covert) seperti playing victim. Keduanya berpusat pada "aku adalah sentral dunia."
Secara psikologis, sifat NPD muncul karena seseorang merasa kurang di dalam dirinya. Alih-alih berbagi cinta yang berlimpah, NPD justru menyedot perhatian dan pengakuan orang lain karena tidak pernah tuntas dengan dirinya sendiri. Hal ini disebabkan oleh:
Pengasuhan yang Bersyarat: Anak hanya dihargai ketika ia berprestasi atau berperilaku baik, namun diabaikan (neglected) ketika ia membuat kesalahan.
Diskoneksi Emosional: Hilangnya sentuhan kelembutan (tender love) dari orang tua, terutama ibu. Penolakan terhadap kebutuhan emosional anak (misalnya saat anak menangis dianggap cengeng) menyebabkan "hati yang kaku" (gholīz al-qalbi) yang tidak mampu berempati.
Luka pengasuhan ini membuat anak tumbuh tanpa merasakan cinta tanpa syarat (unconditional love), yang menjadi fondasi utama bagi seseorang untuk mencintai dirinya sendiri dan orang lain.
Kunci Pernikahan Sehat: Kenyamanan dalam Berdialog
Ciri-ciri utama pernikahan yang sehat dan terhindar dari konflik parah adalah kenyamanan dalam berdialog. Pasangan yang sehat adalah yang mampu berdansa (take and give) dalam obrolan, bahkan berani menertawakan diri sendiri dan kehidupannya .
Ustaz Bendri menekankan bahwa "bicara yang tidak penting itu penting". Canda tawa dan obrolan ringan adalah bentuk ibadah yang menguatkan ikatan, menghilangkan sekat, dan mencegah kejenuhan. Sebaliknya, orang dengan NPD akan sulit menerima gurauan atau kritik ringan karena selalu merasa diserang dan meresponsnya sebagai pelecehan.
Nabi Muhammad mewanti-wanti umatnya untuk mewaspadai "khadra' ad-diman" (tumbuhan keren di kubangan kotoran), yaitu orang yang tampak mempesona, saleh, atau pintar, namun dibesarkan di lingkungan yang buruk. Ini adalah peringatan untuk mengenali pola asuh pasangan melalui:
Mengenali teman terdekatnya.
Mengetahui bagaimana cara pasangan mengekspresikan amarah.
Mencari informasi dari orang ketiga yang pernah safar (bepergian) atau muamalah (berurusan utang piutang) dengannya.
Pulih dari NPD: Servis, Bukan Sharing
Untuk menolong pasangan yang terindikasi NPD, yang paling penting bukanlah label atau diagnosis, melainkan intervensi yang konsisten yang bertujuan menumbuhkan kembali empatinya.
Tolong yang Berbuat Zalim: Sesuai ajaran Nabi, istri tidak boleh menjadi korban pasif (korban), melainkan harus menolong suami yang berbuat zalim dengan cara menghentikan kezalimannya. Cara menolongnya adalah dengan membayar utang pengasuhan yang kurang, yaitu dengan menginstal ulang asupan emosi yang hilang (seperti kata-kata sayang atau pelukan).
Latihan Empati: Nabi mengajarkan menumbuhkan hati yang keras dengan servis (mengusap kepala anak yatim dan memberi makan orang miskin), bukan sekadar sharing (berbagi harta). Ini melatih seseorang merasakan penderitaan orang lain.
Kesembuhan bagi NPD bukanlah "sembuh" total, melainkan pulih—yaitu menyadari lukanya, berani memperbaiki hubungan dengan orang tua, dan merespons situasi dengan cara yang lebih baik.
Posting Komentar