Emas: Kilauan yang Mempesona, Menyimpan Sisi Gelap Penuh Kekerasan dan Kerusakan

 Sejak zaman Firaun kuno hingga medali yang melingkari leher para atlet Olimpiade, manusia selalu terpesona oleh emas. Sulit membayangkan ada zat lain yang memiliki daya tarik universal seperti logam mulia ini, yang selalu melambangkan keunggulan, mulai dari mahkota raja hingga piala Oscar. Emas terbentuk dari puing-puing bintang dan memiliki sifat fisik yang luar biasa: mudah dibentuk, tidak pernah berkarat atau ternoda, serta merupakan konduktor listrik yang hebat, menjadikannya penting dalam industri elektronik, termasuk di ponsel yang sering kita gunakan. Kelangkaan logam ini—seluruh emas yang pernah ditemukan di dunia mungkin hanya muat dalam kubus berukuran 23 meter di setiap sisinya—menjadikannya populer sebagai mata uang dan aset paling aman saat pasar keuangan jatuh, bahkan negara-negara masih menimbunnya sebagai bukti kekuatan.

Namun, jika dilihat lebih dekat, mahkota emas mulai memudar. Rasa cinta berlebihan manusia terhadap emas telah memicu sejarah panjang kekerasan dan eksploitasi. Penakluk Spanyol, misalnya, meneror Amerika untuk mendapatkan emas, melancarkan kebrutalan terhadap peradaban Inca, Maya, dan Aztec, serta menghancurkan karya seni dan perhiasan yang tak terhitung jumlahnya dengan melebur ratusan ton emas untuk raja-raja Spanyol. Pada abad ke-19, demam emas di perbatasan liar seperti California dan Australia Selatan memikat banyak orang. Meskipun ada yang beruntung, seperti Bernard Halterman yang menemukan spesimen emas seberat 289 kilogram pada tahun 1872, sebagian besar hanya menemukan serpihan, dan kekayaan sejati justru diraup oleh para penjual sekop. Selain itu, masyarakat adat juga menjadi korban, sering kali diserang dan diusir dari tanah mereka demi kepentingan industri baru ini.

Emas dan konflik sering berjalan beriringan. Beberapa perang dipicu oleh sengketa emas, seperti Perang Boer di Afrika Selatan tahun 1899 hingga 1902. Dalam Perang Dunia II, baik Nazi maupun Jepang mencuri emas dalam jumlah besar, dan sebagian di antaranya tidak pernah ditemukan. Jika negara tidak mencuri, para perampoklah yang mengincar logam mulia ini, seperti perampokan Brink’s-Mat di Inggris tahun 1983, di mana enam pria bersenjata melarikan diri dengan 6.800 batangan emas. Sebagian besar pelaku kejahatan tersebut tidak pernah tertangkap, dan sebagian besar emas itu diperkirakan dilebur dan dicampur dengan tembaga untuk menghilangkan jejak asalnya.

Selain dicuri dan diselundupkan, emas terus-menerus dijarah dari perut Bumi, menimbulkan biaya lingkungan dan sosial yang besar. Penambangan emas dikenal sangat intensif energi, menghasilkan emisi karbon setiap tahun setara dengan sekitar 28 juta mobil. Jika tidak dilakukan dengan hati-hati, penambangan dapat mencemari sungai, merusak ekosistem, dan melepaskan polutan beracun tingkat tinggi seperti merkuri ke udara. Penambangan skala kecil yang tidak diatur juga menjebak jutaan orang, termasuk anak-anak, ke dalam pekerjaan berbahaya di negara-negara termiskin di dunia.

Kecintaan umat manusia terhadap logam yang berkilauan ini telah mendorong kita ke dalam kekerasan, eksploitasi, dan kehancuran. Dengan menghargai sisi gelap emas, diharapkan kita dapat menggunakannya secara lebih bijaksana di masa depan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama