Filmmaker dan Terapis Mendiskusikan: Mengapa Kita Mencari Persetujuan Orang Lain dan Solusinya


 

Fenomena senang menyenangkan orang lain atau people-pleasing tidak hanya terjadi pada orang biasa, tetapi juga dialami oleh tokoh publik seperti pembuat film. Dalam sebuah diskusi interaktif, seorang pembuat film dan seorang terapis membahas secara mendalam akar masalah perilaku ini dan bagaimana cara melepaskan diri dari siklus mencari persetujuan dari orang lain.


Manifestasi dan Akar Perilaku

Terapis Stephanie, yang turut dalam diskusi, mengakui bahwa ia cenderung sulit mengatakan "tidak" kepada orang yang dihormati atau yang pujiannya ia dambakan, bahkan jika ia merasa sangat terbebani. Sementara itu, pembuat film yang mengaku masih berjuang dengan perilaku people-pleasing mencontohkan bagaimana ia tidak berani meminta pengemudi layanan transportasi untuk mengecilkan AC meskipun ia kedinginan. Ia berhipotesis bahwa akarnya mungkin berasal dari masa kecil sebagai anak bungsu yang terbiasa mengalah, sebuah pelatihan yang tanpa disadari terbawa hingga dewasa.

Stephanie menambahkan, perilaku ini bisa jadi merupakan respons terhadap trauma atau pemahaman bahwa hal buruk hampir pasti akan terjadi jika seseorang berani mengungkapkan kebutuhannya. Inti dari people-pleasing, menurut mereka, adalah upaya untuk menghindari penghinaan akibat penolakan atau perasaan tidak penting. Daripada mengambil risiko untuk mendapatkan akomodasi yang diinginkan, seseorang memilih untuk tidak mengungkapkan kebutuhan demi menghindari perasaan ditolak.


Solusi: Ketahanan Diri dan Jauhi Perbandingan

Bagi sang pembuat film, solusi yang sedang ia jajaki adalah ketahanan diri (resilience), yaitu berani terbuka, menerima kemungkinan terluka, dan bangkit kembali, daripada terus-menerus menutup diri. Stephanie mendukung pandangan ini, menekankan bahwa langkah pertama adalah mengakui pada diri sendiri bahwa ada sesuatu yang mengganggu dan merasa nyaman untuk mengomunikasikan kemungkinan tersebut.

Dalam konteks opini orang lain, pembuat film tersebut menyamakan pujian dan kritik dengan "gula"—fine dalam jumlah kecil, tetapi terlalu banyak bisa menyebabkan "kecanduan" dan rasa sakit ketika pujian itu hilang. Ia berargumen bahwa untuk tidak terpengaruh oleh kritik negatif, seseorang juga harus belajar untuk tidak terlalu bergantung pada opini positif. Stephanie, sebagai anak tertua, berbagi pengalamannya bahwa ia masih mendambakan persetujuan orang tua sebagai fondasi, yang kemudian meluas menjadi kebutuhan akan persetujuan dari figur otoritas lainnya.


Hubungan dan Standar Realitas

Diskusi ini juga menyentuh bahaya membandingkan hubungan dengan standar fantasi yang dilihat di luar atau yang ditetapkan oleh konvensi sosial, fenomena yang ia sebut sebagai relationship imposter syndrome. Stephanie menjelaskan bahwa kita sering terjebak dalam lintasan hubungan konvensional (bertemu, menikah, punya anak, beli rumah) tanpa pernah bertanya, "Mengapa saya melakukan ini?"

Solusinya, menurut mereka, adalah berhenti membandingkan dan fokus pada kejujuran dan kepuasan diri dalam hubungan. Kuncinya adalah secara teratur memeriksa diri dan pasangan tentang apa yang benar-benar berhasil untuk hubungan saat ini. Berani jujur, bahkan tentang hal-hal kecil seperti kebutuhan untuk memiliki kamar mandi terpisah dari pasangan, dapat menyelamatkan hubungan dari argumen dan memastikan bahwa pasangan tersebut bahagia dengan realitas mereka sendiri.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama