Fenomena penyakit psikogenik massal (Mass Psychogenic Illness / MPI), atau yang sering disebut histeria massa, mengungkapkan sebuah garis tipis yang memisahkan penularan penyakit dengan koneksi emosional dan sosial antarmanusia. Dan Taberski, seorang pembuat film dokumenter audio, meneliti kasus-kasus nyata di mana gejala fisik nyata menyebar cepat di antara kelompok yang terhubung erat, meskipun tidak ditemukan penyebab organik.
Kasus klasik terjadi pada tahun 2011 di Leroy, New York, di mana seorang siswi SMA tiba-tiba mengalami gagap parah, kedutan kepala, dan kejang wajah yang menyerupai sindrom Tourette. Gejala tersebut dengan cepat menyebar ke belasan siswi lain di sekolah yang sama. Meskipun dilakukan investigasi ekstensif, termasuk pengujian kualitas air, udara, logam berat, hingga bakteri, semua hasil dinyatakan negatif. Dokter akhirnya mendiagnosis wabah tersebut sebagai MPI. Diagnosis ini sering disambut skeptis, terutama oleh para siswi yang merasa keluhan fisik mereka ("Aku tidak tahu bagaimana harus memercayai ini") diremehkan sebagai "hanya di pikiranmu."
Padahal, MPI adalah penyebaran cepat gejala fisik nyata dari satu orang ke orang lain tanpa adanya penyebab medis yang jelas. Penularannya bukan acak, melainkan berjangkit di antara kelompok sosial yang sangat terhubung, seperti siswa sekolah, pekerja pabrik, atau bahkan biarawati. MPI diyakini muncul akibat adanya stres atau trauma yang mendasari yang dirasakan kolektif, terjadi di titik-titik lemah dalam masyarakat.
Fenomena ini terus terjadi di era modern. Contohnya adalah insiden di mana petugas polisi di lapangan melaporkan gejala overdosis fentanyl setelah berdekatan dengan obat tersebut. Meskipun toksikologi jarang mengonfirmasi paparan, dan para ahli menyatakan overdosis melalui kontak kulit hampir mustahil, gejala tersebut terus menyebar di kalangan petugas. Kasus-kasus ini dipercaya sebagai MPI dengan nuansa modern, di mana penularan diperburuk oleh teknologi, seperti video dari kamera tubuh yang dilihat oleh petugas lain, menciptakan vektor penyebaran yang sempurna.
Garis batas antara penularan dan koneksi sangat tipis. Rose, seorang siswi di Leroy yang memang mengidap sindrom Tourette sejati, mengalami gejalanya memburuk drastis karena ticking massal di sekolah. Namun, ia menemukan kebalikannya di kamp sindrom Tourette. Di sana, para peserta secara kolektif mengalami peningkatan ticking, yang mereka sebut tick shopping (meniru kedutan orang lain), tetapi mereka justru merasa terhubung, didukung, dan bahagia. Di lingkungan yang menerima, gejala yang sama yang dihindari di dunia luar menjadi sumber kebahagiaan dan koneksi yang sangat berharga. Kisah ini mengajarkan bahwa penularan psikogenik dapat menjadi ekspresi fisik nyata dari kecemasan kolektif, tetapi ketika dihadapi dalam komunitas yang penuh penerimaan, gejala tersebut dapat menjadi pengikat yang kuat.
Posting Komentar