Angka rata-rata IQ masyarakat Indonesia yang rendah, yang dikabarkan berada di kisaran 78,49, ternyata bukan sekadar masalah genetik, melainkan hasil dari sebuah "latihan" atau pembiasaan yang berlangsung selama beberapa generasi. Para ahli pendidikan melihat bahwa kita terbiasa didoktrin untuk tidak rasional dan percaya pada hal-hal yang mustahil, membuat akal sehat (common sense) justru menjadi sesuatu yang langka dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini secara perlahan melatih masyarakat untuk mengalami kemerosotan kognitif.
Konsep kemajuan ilmu pengetahuan modern sangat bergantung pada sinergi antara abstraksi dan empirisme. Abstraksi adalah kemampuan untuk menyederhanakan masalah yang rumit (seperti penggunaan simbol matematika untuk kalkulasi). Sementara empirisme adalah pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman nyata, bukan imajinasi atau intuisi. Sayangnya, pengalaman hidup anak-anak di Indonesia cenderung tidak sekaya yang diharapkan, baik karena terbatasnya ruang diskusi yang memperkaya nalar di rumah (di mana sebagian besar kepala rumah tangga tidak berpendidikan tinggi) maupun karena kualitas pengajar yang belum optimal.
Situasi ini diperparah oleh lingkungan yang melatih anak untuk tidak berpikir kritis. Ketika anak didorong untuk menghafal dan tidak diizinkan mempertanyakan otoritas, ia sebenarnya sedang dilatih untuk menjadi tidak rasional. Akibatnya, alih-alih memecahkan masalah (problem solving), banyak yang bahkan kesulitan mengidentifikasi masalah itu sendiri (problem identification). Fenomena yang paling mendasar adalah ketertiban; jika masyarakat tidak bisa mematuhi aturan sesederhana berhenti di lampu merah, maka sulit diharapkan mereka mampu menaati hukum yang lebih besar.
Meskipun demikian, peningkatan kecerdasan (kognisi) adalah hal yang sangat mungkin. Kecerdasan dapat ditingkatkan melalui desain dan rencana yang terstruktur dan konsisten selama satu generasi penuh, seperti yang berhasil dilakukan oleh negara-negara Nordik (Norwegia, Swedia, Finlandia, Denmark). Solusinya terletak pada latihan yang berkesinambungan. Latihan ini harus meliputi pembangunan kemampuan berpikir rasional dan etos disiplin diri yang kuat, bahkan dalam hal-hal kecil sekalipun.
Peningkatan kognisi ini bukan hanya tentang kemajuan teknologi, tetapi juga berkorelasi langsung dengan kebahagiaan. Negara-negara dengan masyarakat yang cerdas cenderung menjadi negara yang paling bahagia. Dengan demikian, jika suatu bangsa ingin maju, sejahtera, dan warganya mencapai kebahagiaan sejati, maka reformasi harus dimulai dari fondasi paling dasar: melatih kembali setiap individu untuk menjadi pribadi yang rasional, kritis, dan berempati.
Posting Komentar