Institusi kebun binatang telah mengalami perubahan yang signifikan sejak awal berdirinya. Sepanjang sejarah, koleksi hewan hidup, yang pertama kali dikumpulkan oleh keluarga kerajaan atau orang-orang berpengaruh, adalah cara untuk menunjukkan kontrol dan kekuatan manusia atas alam. Contohnya, Kebun Binatang modern pertama dibuka di London pada tahun 1828. Di masa-masa awal tersebut, seringkali tidak ada apresiasi terhadap kebutuhan hewan untuk menjalani kehidupan yang baik. Mereka dipajang di kandang-kandang yang tandus, diperlakukan layaknya spesimen museum yang terlepas dari evolusi dan habitatnya, bahkan dianggap sebagai mesin otomatis tanpa kedalaman emosional atau rasa sakit. Namun, pandangan ini telah bergeser drastis seiring dengan meningkatnya pemahaman bahwa hewan memiliki kecerdasan dan kompleksitas hidup mereka sendiri.
Saat ini, kebun binatang modern memainkan peran yang sangat penting sebagai "populasi asuransi" untuk mencegah kepunahan, dan beberapa spesies di bumi tidak akan ada hari ini tanpa upaya konservasi yang dilakukan oleh kebun binatang. Karena ancaman terbesar terhadap satwa liar berasal dari manusia—yang sebagian besar hidup di perkotaan—kebun binatang menyediakan peluang pendidikan yang vital. Mereka mendidik masyarakat tentang dampak aktivitas sehari-hari mereka terhadap lingkungan di tempat yang jauh dan mendorong partisipasi dalam konservasi. Hampir semua kebun binatang yang baik di dunia berpartisipasi atau membantu mendanai berbagai program konservasi di habitat asli (in-situ). Seiring dengan ancaman perubahan iklim yang terus meningkat, peran kebun binatang dalam adaptasi dan penyelamatan spesies diperkirakan akan semakin penting.
Meskipun demikian, keberadaan kebun binatang tidak luput dari kritik. Ada banyak kebun binatang yang kondisinya masih sangat buruk dan tidak memperhatikan kesejahteraan hewan. Di beberapa wilayah, kurangnya undang-undang kesejahteraan hewan yang ketat membuat orang dapat memiliki harimau peliharaan lebih banyak daripada jumlah harimau di alam liar. Selain itu, kompleksitas menyediakan kehidupan yang baik bagi beberapa hewan liar di penangkaran adalah tantangan besar, dan tanda-tanda stres atau perilaku stereotip seringkali terlihat. Secara finansial, data resmi menunjukkan bahwa persentase pendapatan yang kembali ke konservasi hanya sekitar empat persen, yang dinilai minimal. Selain itu, masih dipertanyakan apakah fakta yang dipelajari pengunjung benar-benar mengubah perilaku mereka menjadi aksi konservasi nyata.
Menanggapi kritik ini, muncul alternatif dan harapan baru untuk masa depan. Beberapa pihak berpendapat bahwa teknologi canggih seperti CGI, robotika, dan realitas virtual (VR) dapat memberikan cara yang sama menariknya untuk belajar tentang hewan tanpa merugikan mereka dalam penangkaran. Bayangan untuk melakukan tur virtual melintasi kawanan gajah di Serengeti, misalnya, akan segera mungkin. Meskipun demikian, para pendukung kebun binatang berargumen bahwa film dokumenter atau VR tidak memiliki dampak emosional positif yang sama. Dengan sekitar 10% populasi global mengunjungi kebun binatang setiap tahun, kehilangan kebun binatang berarti kehilangan kesempatan besar untuk memelihara minat publik terhadap lingkungan liar. Harapan tertinggi adalah mewujudkan kota-kota super berkelanjutan di masa depan, di mana manusia dan satwa liar dapat hidup berdampingan, menghilangkan kebutuhan untuk pergi ke tempat khusus hanya untuk melihat hewan.
Posting Komentar