Pendidikan dasar di Indonesia, khususnya di sekolah negeri, berada dalam kondisi yang memprihatinkan akibat belenggu birokrasi, konflik kepentingan, hingga praktik korupsi yang sudah mengakar. Hal ini diungkapkan oleh Galih Sulistyaningra, seorang praktisi pendidikan yang memilih mengundurkan diri dari status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai guru di Jakarta setelah merasa otonomi dan inovasinya terhambat oleh sistem.
Guru Terjebak Formalisme dan Birokrasi
Pengalaman Galih selama empat tahun menjadi guru PNS di SD negeri, yang lokasinya dekat dengan pusat pemerintahan, membuka matanya bahwa masalah pendidikan dasar sangat kompleks. Guru sering kali terperangkap dalam tuntutan administrasi dan birokrasi yang melelahkan. Ia menyaksikan sendiri bagaimana konflik kepentingan di tingkat hierarki—mulai dari kepala sekolah hingga dinas pendidikan—berdampak langsung pada praktik korupsi, termasuk praktik salam tempel dalam proses kenaikan status kepegawaian. Lingkungan yang tidak sehat ini membuat guru kesulitan untuk menjadi pendidik yang netral dan fokus pada kebutuhan murid.
Ironisnya, alih-alih memperbaiki sekolah yang sudah ada, kecenderungan para pengambil kebijakan adalah menciptakan sekolah baru yang menyeleksi guru dan murid berkualitas, sehingga justru memicu segregasi dan menjauhkan cita-cita pemerataan pendidikan.
Reformasi Holistik: Dari Pendidikan Guru hingga Kesejahteraan Masyarakat
Galih yang merupakan lulusan pendidikan guru di Indonesia dan mengambil S2 di luar negeri, menegaskan bahwa reformasi harus dilakukan secara holistik:
Pendidikan Keguruan Harus Direformasi: Mutu calon guru sangat perlu ditingkatkan dengan mewajibkan bacaan-bacaan revolusioner seperti Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire. Guru harus menjadi sosok yang kritis dan berani mempertanyakan tradisi lama, bukan sekadar pelaksana kurikulum yang formalitas.
Memandang Guru sebagai Penuntun: Pendidik harus mengacu pada semangat Ki Hajar Dewantara: menjadi penuntun yang percaya bahwa setiap anak adalah tumbuhan unik (padi atau jagung) yang harus diperlakukan secara berbeda, bukan sekadar menggurui. Kehadiran guru harus secara emosional dan tidak menghakimi, berfokus pada mengolah rasa siswa.
Memperjuangkan Kesejahteraan Masyarakat: Kualitas pendidikan dasar sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan sosial ekonomi orang tua. Anak-anak dari keluarga rentan datang ke sekolah dalam kondisi yang secara nutrisi dan emosional belum siap, membuat guru harus mengajar hal-hal di luar akademis. Reformasi pendidikan harus terintegrasi dengan upaya pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan orang tua.
Meluaskan Ruang Kelas Melalui Teknologi
Merasa terbatas dalam ruang kelas fisik, Galih memilih mengembangkan platform pembelajaran literasi numerasi digital. Melalui platform ini, ia memperluas jangkauan ke lebih dari 10.000 anak di seluruh Indonesia, termasuk daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Teknologi, dalam hal ini, bukan pengganti guru, tetapi alat bantu (komplementer) untuk:
Meningkatkan Akses: Membawa materi pendidikan berkualitas ke daerah yang sulit dijangkau.
Personalisasi Pembelajaran: Menyediakan asesmen yang membuktikan bahwa kemampuan kognitif anak tidak ditentukan oleh usia, melainkan kualitas stimulasi.
Memberdayakan Orang Tua: Mendorong interaksi 15 menit per hari antara orang tua dan anak untuk membangun koneksi emosional, di mana orang tua adalah penentu utama keberhasilan pendidikan.
Keberanian Galih untuk meninggalkan status PNS adalah wujud perjuangan untuk mendapatkan otonomi dan kebebasan dalam mendidik, sebuah jalan yang ia yakini dapat membawa dampak lebih besar bagi masa depan pendidikan dasar Indonesia.
Posting Komentar