Pendidikan Terlalu Santai: Mengapa Indonesia Kekurangan Talenta Sains Kelas Dunia?


https://www.pexels.com/id-id/video/seorang-anak-menggunakan-pensil-menulis-di-atas-kertas-di-dalam-ruang-kelas-3209663/

Aspirasi Indonesia untuk mencapai kemasan di masa depan, yang sangat bergantung pada inovasi teknologi, terancam oleh kualitas pendidikan yang terlalu "santai" dan kurang fokus pada STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). Hendra Kwee, founder Yayasan Simetri dan pembimbing Olimpiade Fisika Indonesia, menyoroti bahwa alih-alih melahirkan ilmuwan unggul, sistem pendidikan justru menumbuhkan budaya yang menghambat rasa ingin tahu dan etos kerja keras siswa.

Budaya "Ngapalin" dan Hilangnya Daya Kritis

Masalah fundamental dalam sistem pendidikan adalah kecenderungan untuk menghafal (rote learning) dan fokus pada pemenuhan administrasi (paperwork), bukan pada pemahaman mendalam (critical thinking). Siswa sering dituntut menghafal definisi atau tanggal sejarah secara kata per kata, yang mematikan kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan menghubungkan konsep ilmu dengan kehidupan sehari-hari.

Sistem yang seragam dan cenderung mengorbankan kualitas demi kemudahan juga menjadi penghalang. Ketika ujian dihilangkan atau diringankan, sekolah sering kali memilih standar minimum (nol) dan menghilangkan urgensi bagi siswa untuk bekerja keras. Ini menciptakan mentalitas "nyantai" pada generasi muda, padahal tuntutan dunia kerja justru semakin kompleks.

Investasi Guru: Kunci Menuju Abad Keemasan STEM

Perbandingan dengan negara maju dan Tiongkok menunjukkan jurang yang mengkhawatirkan. Tiongkok menghasilkan lebih dari 4 juta lulusan STEM per tahun, sementara Indonesia hanya sekitar 250.000. Untuk mencapai aspirasi keemasan di tahun 2045, angka ini minimal harus didongkrak menjadi 1 juta per tahun.

Kenaikan drastis ini mustahil terwujud tanpa investasi besar pada kualitas guru. Guru di Indonesia cenderung memiliki kompensasi yang rendah dan banyak yang tidak memiliki passion di bidang pendidikan, yang menyebabkan proses belajar-mengajar menjadi stagnan. Solusi non-konvensional yang perlu dipertimbangkan adalah meningkatkan gaji guru STEM secara signifikan di daerah-daerah terpilih, yang disertai dengan tuntutan kinerja yang terukur (accountability) pada hasil, bukan sekadar paperwork.

Membuka Kolam Talenta dan Menghargai Kerendahan Hati

Indonesia memiliki kolam talenta yang besar, terbukti dari banyaknya peminat calon guru berintegritas dan potensi anak-anak di daerah yang mampu menembus Olimpiade Sains Nasional (OSN). Namun, talenta ini perlu diasah sejak dini.

Pendidik harus mencontoh sikap rendah hati. Pengajar kelas dunia, bahkan sekelas pemenang Nobel, bersedia mengakui "saya tidak tahu" ketika siswa bertanya di luar materi. Keterbukaan ini akan mendorong siswa untuk berani explore dan mengajukan ide tanpa takut salah, yang merupakan fondasi utama dari kecerdasan ilmiah. Selain itu, lembaga pendidikan, terutama universitas, perlu terbuka merekrut pengajar dan mahasiswa terbaik dari luar untuk menciptakan demokratisasi ide dan meningkatkan kualitas pendidikan melalui keragaman.

Masa depan Indonesia sangat bergantung pada kemampuan kita untuk bertransformasi dari budaya "nyantai" menjadi budaya kerja keras, memprioritaskan STEM, dan menempatkan guru berkualitas sebagai ujung tombak peradaban.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama