Seni Berbohong Halus: Cara Membedakan Kebohongan yang Baik dan yang Buruk


Berbohong, dalam kadar tertentu, adalah keniscayaan dalam kehidupan sosial, bahkan tidak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat hidup tanpa berbohong. Komedian Athena Kugblenu berpendapat bahwa kebohongan seringkali menjadi alat yang berguna untuk berbagai tujuan, seperti menghindari percakapan bertele-tele, menunda tanggung jawab, atau sekadar membuat hidup menjadi lebih mudah. Misalnya, kita sering berbohong ringan dengan mengatakan "Saya baik-baik saja" meskipun sedang mengalami hari yang buruk, atau berbohong kepada dokter mengenai jumlah pasti konsumsi alkohol. Bahkan, dalam situasi kritis seperti kecelakaan, kebohongan yang memberikan harapan ("Anda akan baik-baik saja") jauh lebih etis daripada kejujuran brutal yang merinci setiap cedera.

Meskipun kebohongan yang bersifat sehari-hari sering dilakukan oleh orang biasa karena lebih mudah daripada mengatakan yang sebenarnya, kita cenderung menganggap kebohongan sebagai tindakan jahat yang dilakukan untuk memanipulasi. Padahal, kuncinya terletak pada motifnya: apakah kebohongan itu dilakukan untuk kepentingan diri sendiri atau untuk kebaikan orang lain. Kebohongan yang baik (good lie) adalah tindakan keanggunan sosial, seperti memuji gaun pengantin yang sebenarnya kita anggap jelek, karena fokusnya adalah pada kebahagiaan orang lain. Contoh kebohongan yang baik lainnya adalah ketika pasangan memilih untuk menahan amarah karena pekerjaan rumah yang belum diselesaikan demi menjaga kedamaian hubungan, karena kedua belah pihak mendapat manfaat jangka pendek dari suasana yang tenang.

Sebaliknya, kebohongan yang buruk (bad lie) adalah kebohongan yang mementingkan diri sendiri dan berpotensi merugikan orang lain. Kebohongan semacam ini seringkali bertujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial, kekuasaan, atau memenangkan suara, seperti dalam kasus krisis hipotek atau manipulasi data kesehatan oleh industri tembakau.

Kugblenu menekankan pentingnya menjadi "melek kebohongan" (fib literate). Caranya sangat sederhana: setiap kali dihadapkan pada kesempatan untuk berbohong atau menerima informasi yang meragukan, ajukan pertanyaan: "Siapa yang akan mendapat manfaat?" Jika jawabannya adalah diri sendiri dan berpotensi membahayakan orang lain, seperti mengizinkan teman yang mabuk untuk menyetir, maka itu adalah kebohongan yang tidak dapat diterima. Dengan mengajukan pertanyaan ini secara konsisten, masyarakat dapat membangun ketahanan kolektif terhadap tipu daya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama